KOMENTAR

7. Dulu Sakit Karena Kurang Makan, Sekarang Akibat Banyak Makan

Fasilitas kesehatan terus membaik, tetapi jenis penyakit bertambah dan gaya hidup sehat semakin merosot. Dahulu orang-orang sakit disebabkan busung lapar, gizi buruk, malnutrisi dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan kurang makan. Sekarang ragam penyakit itu datang atas nama obesitas, kolesterol tinggi, dan berbagai penyakit mengerikan yang ujung-ujungnya akibat kebanyakan makan.

Mungkin ekonomi yang baik membuat pola makan menjadi tak terkendali, barangkali meningkatnya fasilitas kesehatan menjadikan pola hidup sehat terabaikan. Mungkin juga disebabkan kita mengabaikan pesan Rasulullah agar membagi perut tiga bagian; sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga lagi udara.

8. Dulu Banyak Anak Banyak Rezeki, Sekarang Kerap Diliputi Kekhawatiran

Dahulu boleh saja kondisi miskin, anehnya makin miskin makin menambah anak karena anak kadung dipandang sebagai pembuka rezeki. Akibatnya banyak juga anak yang tidak terurus, selain pendidikan yang minim, juga berimbas pada kualitas diri. Pemerintah sampai galak-galaknya mengkampanyekan gerakan KB guna mengendalikan jumlah penduduk.

Sesuai dengan namanya KB (Keluarga Berencana), sekarang pasangan benar-benar merencanakan anak-anaknya. Demi memperoleh anak berkualitas jempolan, maka jumlah anak dibatasi, dua atau satu anak dianggap cukup, makin sedikit makin bagus. Sisi positifnya anak-anak diperhatikan dengan sempurna, mereka memperoleh kualitas hidup yang menakjubkan. Namun terjadi juga penundaan memiliki anak demi persiapan, bahkan secara ekstrem tidak punya anak karena khawatir tidak mampu mendidiknya.

Apapun zamannya, entah dulu, sekarang atau masa mendatang, punya anak merupakan tanggung jawab peradaban. Bicara anak artinya kita bicara masa depan. Tanpa anak bukan hanya mengkhawatirkan bagi kelangsungan keluarga kita tapi juga Islam itu sendiri. Makanya Nabi Muhammad bangga kelak di akhirat melihat umatnya yang banyak.

9. Dulu Cerewet Sekarang Cuek

Dahulu suami-suami mengeluh dengan kerewelan istrinya. Bahkan ada yang meski dikasih fasilitas dan waktu untuk keluar rumah, istri masih tak beranjak dan melanjutkan cerewetnya. Istri punya banyak waktu membicarakan segala hal, termasuk hal-hal yang semestinya bukanlah masalah.

Kemudian datanglah era smartphone, tiba-tiba istri menjadi pendiam, tidak banyak lagi yang dipermasalahkannya. Istri terjun total di dunia medsos yang menggelorakan. Lambat laun suami menyadari betapa menyeramkan berada di rumah yang sepi seperti kuburan, anak istri sibuk dengan ponsel mereka. Bahkan suami sampai trauma mengajak keluarga jalan-jalan, di saat dia menyetir, anak dan istrinya sibuk dengan ponsel dari pagi siang dan malam.

Objek wisata mahal sama sekali tidak menarik hati mereka. Tiba-tiba saja suami merindukan kecerewetan istrinya seperti dahulu. Akhirnya, suami bingung mencari solusi dan akhirnya ikut-ikutan sibuk dengan smartphone.

Apabila komunikasi yang sudah binasa dalam ruma tangga, maka bersiaplah menunggu kehancuran. Masalah apapun dapat diselesaikan dengan membangun komunikasi. Tanpa komunikasi, tidak ada lagi jembatan hati antara suami istri dan anak-anak. Setiap anggota keluarga harus terus memperbaharui kesadaran tentang urgensi komunikasi.

10. Dulu Istri Taat Suami, Sekarang Suami Takut Istri

Dahulu suatu kebanggaan istri menaati suami, bahkan ada kelompok masyarakat yang para istri memanggil suaminya dengan sebutan junjungan. Apapun kondisi suami tetap menjadi kebanggaan istri, dan suami adalah pemimpin yang wajib ditaati. Taat pada suami bagian dari bukti ketaatan pada Allah. Sekarang jungkir balik, fenomena suami takut istri malah diumbar terang-terangan. Banyak suami tidak merasa tergerus wibawanya mengatakan dengan mulut sendiri perihal dirinya yang takut pada istri, terlebih dia memiliki ketergantungan sosial ekonomi.

Khadijah perempuan kaya raya tapi bukan berarti tidak menghormati dan menaati suaminya. Setiap suami memiliki kelebihan yang akan dipuja istrinya. Ketaatan pada suami bukan pertanda takluk atau kalah. Dalam berbagai hal, harus ada seorang yang memimpin. Nah, taat pada pemimpin ini menggambarkan sikap dewasa yang juga bermanfaat dalam rumah tangga.

 

11. Dulu Campur Tangan Pihak Keluarga, Sekarang Campur Tangan Banyak Pihak

Dulu permasalahan suami istri kerap menjadi runyam tatkala kedua belah keluarga sudah turut campur, yang bukannya mendamaikan tetapi malah memanas-manasi. Masalah yang seujung kuku jadi segunung karena campur tangan keluarga. Masalah suami istri meluas menjadi masalah dua keluarga. Lucunya, kendati suami istri sudah berdamai, dua keluarga masih saja bermusuhan.

Sekarang pihak keluarga semakin dewasa menghormati privasi suami istri dalam menyelesaikan masalah. Namun masalah jadi makin runyam karena semakin banyak pihak yang turut campur, seiring makin canggihnya teknologi informasi. Ada medsos aneka rupa yang menjadi tempat melempar masalah sekecil apapun lalu menjadi sangat besar karena hasutan berbagai pihak. Seburuk-buruk keluarga masih bertanggung jawab, lain halnya pihak-pihak yang tak kasat mata ini sering menghasut tanpa menyadari akibatnya dan pastinya tidak akan ikut tanggung jawab.

Disinilah dibutuhkan kedewasaan suami istri menjaga masalahnya dalam lingkaran berdua. Kalaupun dibutuhkan pihak ketiga, maka agama menyebutnya sebagai hakam atau pihak yang bijaksana dari keluarga, bukan sembarang pihak yang berhak ikut campur masalah rumah tangga.

12. Dulu Takut Dicerai, Sekarang Gampang Gugat Cerai

Dahulu perceraian dipandang sebagai aib yang amat buruk. “Sepahit apapun ditahan asal tidak cerai,” ujar seorang nenek. Dia terperanjat melihat cucunya yang baru sebulan menikah, baru pulang bulan madu dari Eropa sudah langsung gugat cerai suaminya. Alasan perceraian pun teramat umum, si cucu merasa tidak bebas. Mana ada kebebasan dalam pernikahan, karena suami istri sama-sama mengorbankan dirinya demi keluarga. Si nenek makin mengelus dada melihat perceraian sudah seperti bahan lucu-lucuan. Si cucu mengumbar perceraian kemana-mana sambil tertawa-tawa, malah ada kesan bangga bahwa dirinya yang menceraikan suami.

Dahulu kala perceraian juga banyak terjadi. Tapi yang menjadi perhatian adalah banyaknya kasus gugat cerai dari pihak istri. Tidak terdengar lagi perempuan takut diancam cerai, sudah jadi cerita basi istri yang menahan diri demi keutuhan rumah tangga. Entah mengapa begini jadinya, entahlah.

Hak gugat cerai yang diberikan Islam juga ada hikmahnya seperti menyelamatkan istri dari kekerasan rumah tangga. Namun perceraian tetap saja perbuatan halal yang dibenci Allah. Suami istri perlu memahami pernikahan bukan hanya karena cinta tapi juga tanggung jawab pada Tuhan. Kalau cinta itu pudar, ingatlah tanggung jawab pada Tuhan akan berlaku sampai di mahkamah akhirat.

Hidup memang banyak masalah, bahkan hidup itu sendiri merupakan sebuah masalah. Pandanglah masalah itu bagaikan bintang, maka langit tidak akan indah tanpa bintang, hidup akan hambar tanpa masalah. Suami istri akan tahu manisnya pernikahan tatkala mampu menaklukkan badai masalah meski mengarunginya dengan biduk cinta nan mungil. 




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News