Ilustrasi suami istri di masjid/Freepik
Ilustrasi suami istri di masjid/Freepik
KOMENTAR

IBADAH itikaf juga memiliki aturan yang apabila dilanggar maka berakibat batalnya itikaf tersebut, di antara yang membuatnya batal adalah bercampurnya suami istri. Ketentuan ini mungkin tidak diketahui secara umum, padahal kitab suci Al-Qur’an sudah menegaskannya.

Surah Al-Baqarah ayat 187, artinya, “Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beritikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya.”     

Muhammad Bagir dalam buku Fiqih Praktis I (2008: 375) telah menjelaskan hal-hal yang membuat itikaf seseorang jadi batal:

1. Keluar dari masjid secara sengaja tanpa alasan yang kuat.

2. Hilangnya kesadaran akal karena gila atau mabuk.

3. Haid dan nifas bagi perempuan.

4. Melakukan (senggama); atau keluar mani disebabkan mubasyarah (bersentuhannya kulit secara langsung antara laki-laki dan perempuan), baik dengan mencium, memeluk, dan sebagainya.

Maka muncul pertanyaan, bukankah sudah dihalalkan malam-malam Ramadan untuk hubungan suami istri? Bukankah keringanan itu diberikan Tuhan demi menyalurkan kebutuhan biologis yang sangat manusiawi?

Memang iya, tetapi bagi mereka yang memutuskan dirinya hendak melaksanakan ibadah itikaf, ada lagi aturan yang berkaitan dengan hal tersebut. Dan terdapat dalil yang kuat serta alasan yang penuh hikmah menyertainya.

Ahmad Abdurrazaq al-Kubaisi pada buku Itikaf Penting dan Perlu (1994: 45) menerangkan:

Dalil lainnya, bahwa makna itikaf adalah mengesampingkan kesibukan dunia dengan berkonsentrasi penuh kepada urusan akhirat melalui cara menetap dalam masjid. Hal ini tidak akan mudah terwujud kecuali dengan meninggalkan dua syahwat (keinginan makan dan minum).

Namun, di malam hari untuk menguatkan fisik, si pelaku itikaf diperbolehkan makan dan minum. Adapun bersetubuh, karena bukan merupakan darurat, tidak boleh dilakukan, sekalipun pada malam hari.

Hidup ini adalah pilihan. Ketika kita memilih menunaikan itikaf maka menjadi terlarang melakukan hubungan seksual, atau apabila dilanggar maka konsekuensinya ibadah itikaf menjadi batal. Lagi pula itikaf hanya dalam hitungan beberapa hari saja, dan dapat diperkirakan orang yang itikaf mampu mengendalikan gejolak syahwatnya.

Nah, larangan ini apakah hanya untuk hubungan seksual, ataukah terlarang juga bercumbu mesra suami istri? Dalam perkara ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.

Ibnu Rusyd pada kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1 (2016: 550) menjelaskan:

Perbedaan pendapat ini karena adanya beda pemahaman terhadap kalimat bercampur apakah memiliki makna yang sebenarnya atau hanya sekadar majaz?

Ini adalah jenis kalimat yang memiliki makna ganda, dan apakah kalimat tersebut diartikan sebagai hubungan badan atau bukan seperti itu. Ulama-ulama yang memilih makna umum, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat bercampur dalam firman Allah itu, “(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf, (surat Al-Baqarah ayat 187) ialah bersetubuh dan sebagainya.

Ulama-ulama yang memilih makna khusus, dan inilah yang lebih terkenal dan yang lebih banyak dipilih oleh mayoritas ulama, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bercampur ialah bersetubuh saja. Kalau yang dipilih makna bersetubuh, maka tidak boleh diartikan selainnya, karena pada dasarnya satu kalimat tidak bisa diartikan ganda, yakni hakiki dan majazi.

Nyatanya, tidak semua hubungan di antara suami dan istri menjadi dilarang selama itikaf, dan tentunya bukan pula itikaf berarti memutuskan kontak di antara pasutri. Karena Rasulullah sendiri tidak menjauhi istrinya selama beritikaf, bahkan terjadi juga persentuhan yang wajar antara beliau dengan Aisyah.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah Jilid 2 (2021: 297) menerangkan:

Tapi diperbolehkan menyentuh istri, dengan syarat tanpa disertai syahwat. Salah seorang istri Rasulullah saw. biasa menyisir rambut beliau ketika beliau sedang itikaf.

Adapun menyentuh istri yang disertai dengan syahwat, menurut Abu Hanifah dan Ahmad, dia telah melakukan kesalahan, karena melakukan perkara-perkara yang dilarang. Tetapi itikafnya tidak batal, kecuali apabila mengeluarkan air sperma. Menurut Imam Malik, itikafnya batal, karena merupakan sentuhan yang dilarang hingga mengakibatkan batalnya sama seperti jika keluar air sperma.

Berhubung terjadi perbedaan pendapat para ulama, maka kaum muslimin dipersilakan memilih fatwa yang mereka anggap kuat.

Perbedaan ini hanya berkaitan dengan batal atau tidaknya itikaf bersentuhan suami istri saat mereka bergejolak syahwatnya. Tetapi larangan bersetubuh saat itikaf tentulah sama-sama disepakati oleh para ulama, dan bagian inilah yang sangat penting kita taati.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Menjernihkan Sejumlah Polemik Zakat Fitrah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih