KOMENTAR

AL-‘Alamu mutaghayyar; alam itu berubah. Seiring berubahnya zaman, alam pun mengubah dirinya dan masalah-masalah yang dihadapi manusia pun bersalin rupa. Kadang-kadang masalah itu sama saja dengan masalah di masa lalu, hanya namanya saja yang berlainan. Ada pula masalah yang benar-benar baru, sehingga kita tidak mengenalinya sama sekali.

Apabila alam berubah, zaman berubah dan masalah berubah, maka cara kita menghadapi masalah semestinya juga berubah. Kalau tidak, masalah-masalah itu akan menggulung keindahan hidup. Rumah tangga sebagai unit sosial terkecil adalah yang paling merasakan perubahan wujud masalah kehidupan.

1. Dulu Pernikahan Dini, Sekarang Terlambat Menikah

Dahulu, marak pernikahan dini. Menikah cepat, bercerainya cepat pula. Mirisnya, usia belum 16 tahun sudah menjanda tiga kali. Anak-anak tidak bersalah jadi korban, hidup mereka tak terurus. Maka berbagai pihak sibuk memberi edukasi agar masyarakat paham bahwa pernikahan butuh persiapan matang.

Sekarang mulai marak pernikahan di usia tua alias telat menikah. Alasannya macam-macam; belum siap, belum mapan, belum kaya, belum dewasa, belum siap mengalah, belum dapat jodoh ideal, belum terpikirkan, belum mau terikat, dan lain-lain. Tidak ada lagi rasa khawatir dicap perawan tua atau bujang lapuk, toh orang-orang sudah punya masalah sendiri dan tidak sempat lagi mencemooh. Masing-masing diri telah menikmati kehidupan pribadi dan semakin panjang membuat daftar pertimbangan untuk menikah, bahkan ada yang berani untuk tidak menikah dan merasa itu bukan masalah.

Akhirnya jadi juga mereka menikah di usia senja, saat ekonomi mapan, pemikiran matang, jiwa matang. Tetapi bukan berarti tidak ada masalah sama sekali. Kemudian hari muncul juga persoalan seperti sulitnya mengendalikan ego dari dua pasangan yang sudah lama terbiasa dengan kehidupan masing-masing, sulit mencari yang mau mengalah, terlalu lambat memiliki anak. dan lain-lain.

Menikah itu mirip dengan berkelahi, siapa yang berani dia yang menang. Keberanian untuk menikah inilah yang perlu ditumbuhkan, yang motivasinya bertebaran dalam ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis nabi, karena rumah tangga sesuatu hal yang amat mendasar dalam kokohnya masyarakat Islam.

2. Dulu Yang Penting Nikah, Sekarang Mengejar Cinta

Tanyakanlah kepada generasi kakek nenek atau ayah ibu kita, mereka tidak begitu paham dengan cinta. Menikah tanpa cinta sudah hal lumrah. Bagi mereka cinta sesuatu yang asing, hanya di film-film belaka. Memang butuh kekuatan sangat besar membangun rumah tangga tanpa dasar cinta, ada yang berhasil mencintai, ada yang tidak mengenal cinta hingga akhir hayatnya.

Kini orang mengorbankan waktu, tenaga pikiran dan perasaan demi cinta sejati. Sulit menemukan pasangan yang nekat menikah tanpa cinta. Mereka tidak takut dengan pertanyaan orangtua, tekanan masyarakat, sanksi adat atau apapun risiko lainnya hanya demi membela cinta. Dengan sendirinya orangtua dan masyarakat semakin menghormati para pejuang cinta. Dan akhirnya pernikahan yang berlandaskan cinta terwujud juga.

Ternyata tidak ada jaminan menikah bermodal cinta akan membuat rumah tangga bebas masalah. Ketika cinta memudar, kecamuk suami istri makin meruncing. Ternyata pernikahan itu tidak melulu tentang cinta. Ada yang lebih tinggi dari cinta bahwa menikah sebagai bukti ketaatan pada perintah Allah.

3. Dulu Pernikahan Amat Sakral, Kini Memudar

Dahulu perkawinan dipandang sebagai segalanya, impian paling tertinggi dengan pengorbanan tiada tara. Segala daya upaya dilakukan demi menjaga keutuhan rumah tangga. Kesucian lembaga perkawinan amat dijaga sepenuh jiwa raga. Sekarang banyak pernikahan terlihat sekadarnya, suami istri memegang kunci rumah masing-masing. Satu kamar namun sibuk sendiri-sendiri, bebas pergi dan pulang sesukanya, serta merdeka melakukan banyak hal tanpa seizin suami atau istri.

Ketakutan hilangnya kebebasan karena perkawinan membuat pasangan suami istri membuat perjanjian yang aneh-aneh, dan pernikahan mereka akhirnya menjadi sekadar status. Jalannya pernikahan tidak dipedulikan, karena kehidupan pribadi sudah terlalu indah untuk ditinggalkan. Padahal menikah itu ibarat menghimpun dua kekuatan besar demi mencapai tujuan yang lebih besar. Bacalah kisah tokoh-tokoh sukses dunia yang memperoleh energi dari pernikahannya, dari pasangannya. Untuk kasus ini, ada baiknya kita berprasangka baik terhadap pernikahan.

4. Dulu Berperan Domestik, Sekarang Berbagi Peran

Dahulu istri bertanggung-jawab penuh atas seluruh peran domestik rumah tangga. Suami tidak tahu menahu dengan urusan keluarganya. Suami hanya kenal satu: mencari nafkah. Sekalipun istri bekerja mencari rezeki, maka bebannya bertambah dua kali lipat sebab urusan domestik tetap dipikul ke pundaknya. Sekarang kondisinya berimbang, suami-suami terlibat dalam urusan domestik; suami aktif di dapur, mengasuh anak, membersihkan rumah, rapat wali murid, dan sebagainya. Mungkin pendidikan terhadap suami mulai berhasil, atau suami sudah tidak tega dengan beban berat istrinya. Padahal dulunya seorang istri bisa dihina karena suaminya kedapatan menyapu di halaman rumah.

Gejala lain juga muncul, seperti suami rumah tangga yang sepenuh hati mengurus rumah tangga dan urusan mencari nafkah berbalik tumpah kepada istrinya. Sudah mulai terbiasa kita mendengar suami berkata, “Maaf tak bisa ikut rapat masjid lagi mengasuh anak, maklum yang cari nafkah istri.” Sejatinya Rasulullah sudah mengamalkan keseimbangan ini, yaitu rumah tangga memang tanggung jawab berdua. Makanya Rasul ikut memasak, menjahit pakaian, menambal sandal dan sebagainya. Anggap saja sekarang ini para suami sedang semangat meneladani Rasulullah. Namun bersalin peran antara suami menjadi istri akan merusak keseimbangan itu. Disinilah dibutuhkan pengertian dan menjaga espek antar suami dan istri, meski dalam keadaan sulit.

5. Dulu Susah Memperjuangkan Emansipasi, Sekarang Sulit Mengendalikannya

Dahulu nasib perempuan terperangkap di sumur, kasur, dan dapur, sekarang perempuan bisa berada di mana saja dan melakukan apa saja. Tidak ada beda dengan pria. Hal-hal yang dahulu dipandang aib, tabu, atau mengerikan bagi kaum hawa kini telah menjadi hal yang biasa. Dulu ruang perempuan hanya di empat posisi; rahim ibunya, rumah ayahnya, kediaman suaminya, dan kuburannya. Sekarang jangankan suami, ayahnya kandung saja tidak kuasa menahan perempuan melakukan yang diinginkan hatinya. Perempuan benar-benar merdeka, lepas dari penjajahan pihak manapun.

Tetapi berbagai efek negatif juga mengiringi kebebasan yang indah itu, anak-anak semakin tidak mengenali ibunya, rumah-rumah penitipan laris manis, baby sitter amat dicintai, kenakalan remaja memuncak, pertengkaran rumah tangga menjadi ramai, sikap individualis samakin mengental dan sebagainya. Tidak ada yang perlu dirisaukan karena pada masa Rasulullah saw. pun kebebasan perempuan sudah meriah. Jangankan di medan karir atau pekerjaan, seperti menjadi pebisnis, tenaga medis, perajin, tokoh masyarakat, ilmuwan, atau pengajar, bahkan muslimah turut serta di medan perang. Hanya saja, kekuatan masyarakat Islam di masa itu adalah membuat keseimbangan peran dan komitmen suami istri yang istiqamah mendahulukan rumah tangga. Ini yang harus diteladani.

6. Dulu Bangga Ibu Rumah Tangga, Sekarang Masanya Wanita Karir

Dahulu peran perempuan memang di rumahnya. Cara pikir itu amat kuat sehingga membelenggu kiprah perempuan di luar. Tapi ada kebanggaan sebagai ibu rumah tangga. Pemikiran yang kaku itu memakan waktu cukup lama mencairkannya, sehingga sekarang wanita karir sudah menjadi hal yang sangat biasa. Kejadiannya malah terbalik, sekadar ibu rumah tangga saja dianggap sepele, hanya menjadi beban suami. Laki-laki dalam mencari istri pun mengutamakan perempuan yang memiliki penghasilan.

Meluasnya karir perempuan menguntungkan masyarakat, apalagi di sektor pelayanan publik yang merasakan kelembutan dan kehalusan khas kaum hawa. Ekonomi keluarga juga makin tangguh dengan suami istri kompak mengejar rezeki. Namun berbagai kasus yang berpangkal dari kurangnya perhatian terhadap anak juga menarik perhatian.

Syukurnya, sudah muncul kesadaran kembali ke rumah, dan para istri juga tidak perlu kehilangan sumber penghasilan. Beberapa unit usaha sudah memperlonggar kebijakan agar kaum ibu dapat mengerjakan di rumah. Kemajuan teknologi informasi mempermudah ibu-ibu mendapatkan rezeki dengan bekerja di rumahnya. Dahsyatnya teknologi ini juga memanggil para ayah untuk pulang ke rumah, mereka bekerja sambil memeluk anak istrinya.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News