Ilustrasi perempuan yang sedang sakit/Freepik
Ilustrasi perempuan yang sedang sakit/Freepik
KOMENTAR

IBADAH puasa Ramadan tidak akan selalu lancar-lancar saja, sebab pada situasi dan kondisi tertentu ada saja hambatan yang merintangi.

Suatu saat kita bisa saja jatuh sakit, atau lagi dalam perjalanan yang sangat berat. Apabila berpuasa dilanjutkan maka akan mengancam keselamatan jiwa, jika tidak berpuasa bukankah ibadah Ramadan ini wajib?

Situasi dilematis ini dapat kita alami kapan saja. Tentunya akan mengguncang hati sebab kesempatan Ramadan yang hanya sekali setahun sangat disayangkan bila dilalui tanpa berpuasa secara penuh. Akan tetapi, Islam adalah agama yang sangat memperhatikan keselamatan penganutnya dan ada rukhsah yang disediakan untuk situasi darurat.  

Surah Al-Baqarah ayat 184, yang artinya, “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi dalam Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu (2005: 69) menerangkan:

Adapun puasa yang diwajibkan Allah Swt. atas hamba-Nya adalah puasa pada hari-hari tertentu dengan bilangan tertentu pula, yakni pada bulan Ramadan. Allah tidak mewajibkan kalian untuk berpuasa sepanjang masa. Hal ini merupakan keringanan dan rahmat bagi kalian.

Bersamaan dengan rahmat dalam puasa ini, Allah juga mensyariatkan kepada orang sakit yang jika berpuasa dapat membahayakan dirinya, dan orang yang dalam perjalanan (musafir) yang merasa berat jika berpuasa, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan menggantinya pada hari-hari lainnya sejumlah hari yang ditinggalkannya. Semua itu merupakan kemudahan dan rahmat Allah bagi hamba-Nya.

Allah Swt. dengan kemurahan-Nya tidak menjadikan puasa sebagai beban yang tak tertahankan. Sebaliknya, Tuhan memberikan keringanan dan rahmat-Nya dengan menetapkan kebolehan untuk tidak berpuasa.

Bagi orang yang sakit, yang mana berpuasa dapat membahayakan dirinya, atau bagi orang yang sedang melakukan perjalanan yang merasa berat untuk berpuasa, maka Tuhan memberikan keizinan bagi mereka untuk berbuka. Ini menunjukkan kasih sayang Allah terhadap kondisi sulit yang dapat dialami manusia.

Sayyid Quṭb pada Tafsir fi Zhilalil Qur'an Jilid 1 (2000: 200) menerangkan:

Zahir nash mengenai sakit dan bepergian ini bersifat mutlak. Maka, apa pun penyakitnya dan bagaimanapun bepergiannya memperkenankan mereka untuk berbuka. Hanya saja si sakit wajib mengqadhanya setelah dia sehat dan si musafir wajib mengqadhanya setelah dia bermukim di kampung halamannya.

Inilah yang lebih utama di dalam memahami nash Al-Qur’an yang mutlak ini, dan lebih dekat kepada pemahaman Islami di dalam menghilangkan kesulitan dan mencegah mudarat.

 Maka, bukanlah karena beratnya sakit dan sulitnya bepergian yang menjadi pergantungan hukum, melainkan keadaan sakit secara mutlak dan bepergian secara mutlak. Karena boleh jadi terdapat pelajaran-pelajaran lain yang diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh manusia dalam masalah sakit dan bepergian ini.

Boleh jadi terdapat kesulitan (masyaqat) lain yang tidak tampak waktu itu, atau tidak jelas menurut ukuran manusia. Dan, selama tidak diketahui oleh manusia dalam masalah sakit dan bepergian ini. Boleh jadi terdapat kesulitan (masyaqat) lain yang tidak tampak waktu itu, atau tidak jelas menurut ukuran manusia.

Dan, selama Allah tidak mengungkapkan ‘alasan’ hukum tentang sesuatu, maka tidak usahlah kita menakwilkannya, melainkan kita patuhi nash-nash itu meskipun hikmahnya tersembunyi bagi kita. Maka, kita yakin bahwa di belakangnya pasti ada hikmahnya, dan tidak menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahuinya.

Hanya saja ada yang mengkhawatirkan bahwa pendapat semacam ini akan mendorong orang yang menyukai keringanan lantas bersikap seenaknya. Sehingga, dikhawatirkan akan ditinggalkannya ibadah-ibadah yang wajib hanya karena alasan yang sepele. Hal inilah yang menjadikan para fuqaha bersikap ketat dan membuat syarat-syarat tertentu.

Akan tetapi, hal ini bukanlah alasan pembenar untuk membuat ikatan-ikatan dan syarat-syarat tertentu terhadap apa yang dikemukakan oleh nash secara mutlak. Islam itu tidak menggiring manusia dengan rantai untuk menuju kepada ketaatan. Tetapi, ia hanya menuntun mereka menuju kepada takwa, dan yang menjadi tujuan ibadah (puasa) ini secara khusus adalah takwa.

Dalam ajaran Islam, keringanan merupakan salah satu aspek penting yang menggambarkan kasih sayang Allah Swt. Namun, pemahaman akan keringanan dalam Islam bukanlah sekadar tentang kesenangan semata, tetapi lebih kepada pemahaman mendalam terhadap nash-nash Al-Qur'an yang bersifat mutlak.

Sangat penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara memahami keringanan tersebut serta menjaga kesalehan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Kita dipanggil memanfaatkan rukhshah atau keringanan untuk tidak berpuasa ini secara bijaksana, tidak membahayakan diri dan tidak mempermudahnya. Sehingga, apa yang kita pilih dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tafsir