KOMENTAR

MEMBACA catatan peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, atau secara sederhana disebut sebagai sejarah, memerlukan kebijaksanaan.

Dapat dibenarkan pandangan yang mengatakan bahwa sejarah adalah catatan pihak-pihak yang menang. Itu membuat sejarah berpotensi bias kepentingan sang pemenang.

Tetapi “narasi sejarah tandingan” yang diwariskan turun temurun sebagai bagian dari perlawanan pun tidak kurang juga berpotensi memiliki bias kepentingan. Setidaknya kepentingan oposan, atau pihak yang dikalahkan, untuk mengalahkan pihak yang sementara menjadi pemenang.

Pada akhirnya, yang paling penting dalam membaca catatan-catatan sejarah adalah perspektif yang dimiliki dan diyakini pihak pembaca, serta keinginan dan kesadaran mendialogkannya dan memanfaaatkannya bagi masa depan. Itu sebabnya kerap dikatakan bahwa sejarah adalah guru dalam kehidupan.

Demikian antara lain yang disampaikan Pemimpin Umum Kantor Berita Politik RMOL, Teguh Santosa, saat berbicara di hadapan peserta Latihan Kepemimpinan (LK) 2 Himpunan Mahasiswa Islam di Graha Insan Cita (GIC), Depok, Jawa Barat, Jumat siang (15/2).

Kegiatan yang diselenggarakan HMI Kordinator Komisariat Universitas Bung Karno (UBK) itu diikuti sekitar 60 peserta dari berbagai provinsi dan kota di tanah air.

Tema yang dibicarakan Teguh Santosa adalah Konstanta Sejarah Nusantara.

Ketika mengawali kuliah umumnya, Teguh yang juga dosen hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa ada beberapa konstanta, nilai, atau dalam hal ini rangkaian peristiwa, yang dispakati bersifat tetap dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia.

Peristiwa-peristiwa itu antara lain adalah cerita kerajaan-kerajaan Nusantara, kegemilangan Sriwijaya dan Majapahit, kolonialisasi bangsa Eropa terutama Portugis dan Belanda, kolonialisasi Jepang, proklamasi kemerdekaan, era Soekarno,  dan era Soeharto.  

“Yang lebih banyak diperdebatkan bukan apakah hal-hal itu pernah terjadi. Melainkan tentang perspektif dalam melihat peristiwa-peristiwa tersebut,” ujar Teguh Santosa.

Dalam diskusi para peserta yang bersemangat mengajukan sejumlah pertanyaan. Misalnya, ada pertanyaan mengenai apakah keturunan raja terakhir Majapahit masih ada. Juga ada pertanyaan mengenai klaim penjajahan Belanda selama 350 tahun di Indonesia.

Peserta lain mengajukan soal kebijakan luar negeri Indonesia dari era Sukarno, Soeharto hingga era Joko Widodo. Seorang peserta mengajukan pertanyaan, apakah tanggal 17 Agustus 1945 dipilih sebagai tanggal memproklamasikan kemerdekaan karena angka 17 sama dengan jumlah rakaat shalat wajib dalam satu hari.

Hal lain yang ditanyakan peserta adalah mengenai surat perintah yang diberikan Bung Karno kepada Soeharto untuk mengamankan keadaan pasca peristiwa dinihari 1 Oktober 1965.




Universitas Mercu Buana Sumbang Dua Sumur Resapan di Masjid At Tabayyun

Sebelumnya

Didukung Jago Syariah, Halal Fair 2024 Siap Melejitkan Pasar Produk Halal Yogyakarta

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel C&E