Dahlan Iskan/Net
Dahlan Iskan/Net
KOMENTAR

 

Entah bagaimana Prof Yudian tidak jadi diangkat jadi menteri agama. Tapi belakangan beliau tampak bahagia dengan jabatan baru itu --yang derajatnya sudah setingkat menteri.

Akhirnya beliau menjadi agak menteri juga.

Beliau memang pede di segala hal. Termasuk dalam memasuki wilayah sensitif: agama. Khususnya dalam menghadapi reaksi keras dari kalangan tertentu dalam Islam.

Mungkin karena beliau merasa lebih ahli dari umumnya yang bereaksi itu. Beliau adalah profesor bidang kajian Islam. Juga rektor universitas Islam terkemuka: UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Yang pernah melahirkan pemikir Islam sekelas Prof. Dr. Mukti Ali --menteri agama zaman awal Presiden Soeharto. Yang kalau pidato --di pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran sekali pun-- tidak mengawalinya dengan 'Assalamualaikum'.

Sunan Kalijaga juga melahirkan seniman teater sekelas Su'bah Asa --senior saya di TEMPO dulu. Dan terakhir Sunan Kalijaga heboh soal disertasi doktor Abdul Aziz tahun lalu. Yang berisi bahwa hubungan seks di luar nikah itu tidak melanggar syariat --yang penjelasan detailnya tidak sesederhana itu.

Sebenarnya apa yang diucapkan Prof. Yudian soal agama dan Pancasila itu biasa saja --kalau beliau bukan Kepala BPIP. Ilmuwan Islam sudah biasa memasuki bagian-bagian sensitif dalam agama. Terutama di forum-forum terbatas. Atau di forum ngobrol santai.

Misalnya saat Rabu kemarin saya diundang ke Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin di Serang, Banten. Saya diminta ceramah di depan mahasantri Ma'had di universitas itu.

Usai acara saya berbincang santai dengan rektornya: Prof Dr. Fauzul Iman. Kami pun membicarakan ucapan Prof. Yudian --yang bagi Prof Fauzul juga tidak aneh. Ia sudah biasa mendengarkan celetukan Prof. Yudian yang sering mengejutkan. Para guru besar UIN semua tahu tentang kebiasaan kolega mereka itu.

Misalnya, suatu saat Prof. Yudian bikin pernyataan bahwa ia tidak takut pada Tuhan.

Tentu nada ucapan seperti itu terasa amat sombong. Tapi kalau kita renungkan dalam-dalam bisa saja manusia tidak perlu takut Tuhan. Kenapa? Karena kita mencintai Tuhan. Hubungan dengan Tuhan bisa lebih didasari rasa cinta dari pada rasa takut.

Atau ucapan seperti ini: saya itu mencintai fitnah. Tentu aneh dan gempar. Ujung-ujungnya adalah ayat Quran yang mengatakan bahwa anak-istri itu bisa menjadi fitnah.

Ia cinta fitnah karena mencintai anak dan istri.

Di forum UIN Banten itu saya juga keceplosan. Dalam praktek manajemen sehari-hari terlalu banyak bawahan yang mengeluhkan atasan. Lalu menjadi tidak produktif.

Kondisi yang seperti itu harus diatasi. Bawahan harus menemukan cara untuk bisa membuat atasan mengikuti keinginan bawahan. Kalau keinginan itu baik.

Yang perlu ditemukan adalah 'caranya seperti apa'. Cara itu pasti bisa ditemukan --asal bawahan mengetahui kepribadian atasan.

"Kita itu lho bisa memerintah Tuhan. Mengapa tidak berhasil memerintah atasan. Memangnya atasan itu melebihi Tuhan," kata saya.

Tentu mahasantri di situ kaget: masak manusia bisa memerintah Tuhan.

Maka saya pun minta mereka memeriksa semua kalimat dalam sebuah do'a. "Semua kalimat dalam do'a itu bentuknya pasti fi'il amr, kata perintah," kata saya.

Misalnya: Ya Tuhan, berilah saya rezeki. Kata 'berilah' adalah tergolong 'kata perintah'. Berarti kita itu tiap hari memerintah Tuhan. Hanya bentuk perintah itu dikemas dalam kemasan do'a. Maka semua itu soal kemasan. Untuk bisa memerintah atasan temukanlah kemasan seperti apa yang cocok.

Ini soal cara.

Adakah Prof. Yudian sudah tidak bisa lagi menemukan cara lain dalam membela Pancasila? Seperti juga Nadiem yang mungkin tidak menemukan cara selain urakan untuk mengubah kemerdekaan dalam kampus?




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Disway