KOMENTAR

HINGGA Minggu (26/7) jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah melampaui kasus di Republik Rakyat China. Sebanyak 98.778 kasus terkonfirmasi, 37.342 dalam perawatan, 56.655 sembuh, dan 4.781 meninggal dunia.

Menurut dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, Kasatgas Covid-19 RS Bhayangkara Polda DI Yogyakarta, hal ini terjadi lantaran masyarakat masih kurang memahami bahaya virus SARS-CoV2 yang menyebabkan Covid-19. Bagaimana cara mutasinya dan daya tahannya di benda-benda yang “disinggahinya”.

"Bayangkan saja, virus tersebut bisa tahan di berbagai jenis benda. Di plastik bertahan 2-3 hari, di kertas 4-5 hari, di kaca 4 hari, di udara selama 3 jam, dan masih banyak lagi permukaan yang bisa menjadi penghantar virus," jelas dr. Dian saat memaparkan materinya di webinar “Salah Kaprah New Normal: New Normal Bukanlah Back To Normal” yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Demokrat, Minggu malam (26/7).

Hal ini diperparah dengan semakin banyak orang tanpa gejala (OTG). Padahal di awal virus ini masuk ke Indonesia, Maret 2020, gejala yang dimunculkan cukup terlihat. Orang yang terinfeksi akan mengalami batuk, demam, serta sesak napas. Tapi sekarang, mereka yang terinfeksi tidak memunculkan gejala, sehingga sulit terdeteksi.

"Sebenarnya, untuk Covid-19 yang jadi maslaah bukan virusnya. Melainkan pada penyakit penyerta yang diderita pasien. Misalnya si pasien memiliki penyakit kardiovaskuler dan pembuluh darah otak, diabetes, sistem pencernaan, tumor ganas, saraf, dan sistem pernapasan. Virus ini juga memunculkan reaksi cepat bagi pemilik golongan darah A dan B," papar pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur ini.

Terkait dengan kesiapan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ke fase new normal, dia mengatakan, Indonesia sebenarnya belum bisa dikatakan siap. Masih persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan pelonggaran. Seperti, kurva penambahan kasus melandai dan penurunan jumlah kematian.

"Gawatnya lagi ketika pengenalan new normal dan yang diingat oleh masyarakat hanyalah kata normalnya saja. Makanya, kini istilah yang dipakai adalah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dengan  menjalankan sejumlah protokol, yaitu penggunaan masker yang diperketat, disusul dengan cuci tangan dan physical distancing," urai dia.

"Dan, kita harus melihat dari pengalaman beberapa negara tetangga yang memaksakan membuka sekolah lantaran kurva kasus telah melandai, bahkan tidak ada kasus baru. Banyak anak yang terkonfirmasi positif terinfeksi, padahal pihak sekolah sudah menjalankan semua protokol kesehatan yang diberikan. Seperti menyediakan tempat cuci tangan, membuat sekat di kantin sekolah, memakai thermo gun kepada anak yang hendak masuk ke lingkungan sekolah, dan masih banyak lagi," lanjutnya.

Jadi intinya, tegas dr. Dian, kesiapan Indonesia untuk menyambut AKB belum maksimal. Hanya saja, masalah ekonomi menjadi kendala. Kini, tinggal bagaimana masyarakat memahami betul tentang bahaya virus corona ini agar dapat menekan jumlah kasus baru dan kembali membangkitkan perekonomian.




Benarkah Cuaca Panas Ekstrem Berbahaya Bagi Penderita Diabetes?

Sebelumnya

5 Manfaat Spesifik Vitamin C bagi Kesehatan Tubuh

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Health