MENJADI orang tua adalah anugerah sekaligus tanggung jawab besar. Setiap keputusan dan tindakan kita akan menjadi jejak yang ditiru anak di kemudian hari. Namun, di tengah niat mulia untuk memberikan yang terbaik, tak sedikit orang tua yang terjebak dalam pola pikir keliru: menghalalkan segala cara demi anak. Padahal, tidak semua hal yang tampak "demi anak" benar-benar baik untuk tumbuh kembang mereka.
Misalnya, memanjakan anak dengan memenuhi semua keinginannya tanpa mempertimbangkan urgensi atau manfaatnya. Anak ingin gadget terbaru, orang tua memaksakan diri walau secara finansial belum memungkinkan. Padahal, yang lebih dibutuhkan anak bukanlah barang mewah, melainkan perhatian, waktu berkualitas, dan nilai-nilai hidup yang kuat.
Lebih jauh lagi, ada praktik-praktik seperti menyogok guru dengan hadiah mahal agar nilai anak bagus, atau bahkan memalsukan data domisili agar anak bisa masuk sekolah negeri favorit. Tindakan itu, meskipun niatnya terlihat demi masa depan anak, justru menanamkan pesan yang salah: bahwa hasil lebih penting dari proses, dan integritas bisa dinegosiasikan.
Orang tua perlu menyadari bahwa mendidik anak bukan soal menjamin jalan mulus, tapi membekali mereka dengan karakter kuat untuk menghadapi jalan terjal. Daripada memaksa anak diterima di sekolah favorit lewat cara curang, lebih baik bantu anak membangun daya juang dan percaya diri untuk berkembang di mana pun ia berada.
Menjadi teladan adalah bentuk cinta paling hakiki. Ajarkan anak tentang kejujuran, tanggung jawab, dan kesederhanaan lewat sikap nyata. Jangan wariskan jalan pintas, tapi tunjukkan bahwa keberhasilan sejati lahir dari usaha jujur dan nilai-nilai yang kokoh.
Pada akhirnya, cinta sejati orang tua bukan tentang mengabulkan semua keinginan anak, tapi membimbing mereka menjadi pribadi yang tangguh, bermoral, dan siap menapaki hidup dengan kepala tegak. Sebab, nilai seorang anak bukan ditentukan dari sekolah mana ia berasal, tapi dari siapa ia belajar menjadi manusia.
KOMENTAR ANDA