DATA terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengungkapkan kondisi yang memprihatinkan: sejak Januari hingga akhir Juni 2025, tercatat sebanyak 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Yang paling mengkhawatirkan, mayoritas kasus adalah kekerasan seksual, dan sering kali pelakunya adalah orang terdekat—bahkan ayah kandung. Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi menyampaikan hal tersebut saat menghadiri acara Muslimat NU di Pati, Jawa Tengah pada Minggu (29/6).
Ia juga menyebutkan bahwa berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Anak dan Perempuan 2024, satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan, dan satu dari dua anak Indonesia juga mengalami hal serupa.
Yang mengkhawatirkan, hanya dalam 16 hari, dari 12 hingga 28 Juni 2025, terjadi penambahan 1.505 kasus. "Ini mencerminkan kondisi darurat yang harus kita hadapi bersama," tegas Arifah, dalam keterangan yang diperoleh Farah.id.
Ia bahkan menceritakan dua kasus memilukan: anak usia 2,5 tahun dan siswi SD berusia 13 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayahnya sendiri.
Arifah menyoroti peran pola asuh dalam keluarga, terutama di era digital saat ini. Data dari BPS menunjukkan lebih dari 33% anak usia 0–6 tahun sudah menggunakan ponsel, dan lebih dari 52% anak usia 5–6 tahun sudah mengakses internet. Hal ini dikhawatirkan membuka celah kerentanan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Menyikapi hal ini, Kementerian PPPA mendorong kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan organisasi keagamaan seperti Muslimat NU, untuk memberikan pendampingan dan edukasi.
"Kami tidak bisa bekerja sendiri. Hanya dengan sinergi, kita bisa melindungi masa depan generasi muda Indonesia," pungkas Menteri Arifah.
KOMENTAR ANDA