Urgensi perempuan sebagai pendidik/Freepik
Urgensi perempuan sebagai pendidik/Freepik
KOMENTAR

TANPA perlu menyebutkan wilayah atau negaranya, dunia patut terkejut karena di sana kaum perempuan dilarang atau dihambat ke sekolah. Sering terjadi aksi brutal penyiraman air keras yang merusak wajah para pelajar perempuan.

Orang-orang di sana mengharamkan perempuan belajar dan mengajar. Sehingga guru-guru perempuan juga dilarang mengajarkan ilmunya dan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Dan yang membingungkan, bukankah di sana mayoritas penduduknya beragama Islam?

Abdul Qadir Manshur pada Buku Pintar Fikih Wanita (2012: 78-79) mengungkapkan:

Diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Nasa’i dari al-Syifa’ bint Abd Allah. Suatu hari Rasulullah saw. datang menemui al-Syifa' yang tengah duduk bersama Hafshah.

Beliau lalu berkata kepadanya, “Kamu boleh mengajarkan jampi-jampi penawar luka (ruqyah al-namilah) kepada Hafshah, seperti telah kamu ajarkan ilmu tulis-menulis kepadanya.”

Pada hadis di atas tergambar secara jelas tentang proses belajar dan mengajar; Al-Syifa’ sebagai guru dan Hafshah sebagai murid. Di mana Al-Syifa yang termasyhur sebagai pakar kedokteran mengajarkan pengobatan kepada istri Rasulullah.

Nah, jika ingin mengetahui hakikat dari ajaran Islam, maka galilah dari Al-Qur’an dan Sunnah, pelajari dari firman Allah dan hadis Rasulullah. Sekiranya bertemu ulama-ulama di suatu daerah yang mengharamkan perempuan menjadi guru, maka yang demikian itu tidak terlepas dari pengaruh budaya patriarki yang sangat keras berlaku di tempat tersebut.

Sehingga, bukan Islam yang mengharamkan perempuan menjadi guru, melainkan tradisi daerah itu yang menghambatnya, tapi malah membawa-bawa nama agama dalam fatwanya.

Secara logika, perempuan malah harus mempersiapkan dirinya menjadi guru, setidaknya pengajar dan pendidik dalam keluarganya, karena ibu adalah ummul madrasah atau sekolah yang paling utama.

Muslimah juga memiliki tanggung jawab sosial, sehingga ilmu pengetahuan yang dimilikinya perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dengan menyuruh Al-Syifa’ menjadi guru atas Hafshah. Dan sebagaimana istri Nabi, Aisyah adalah guru bagi umat, bukan hanya menjadi guru bagi kaum perempuan, bahkan mengajar kepada kaum laki-laki yang meminta fatwa kepadanya.

Abdul Qadir Manshur (2012: 78) menerangkan:

Kalangan fukaha sepakat tentang bolehnya seorang perempuan mengajarkan Al-Qur’an, ilmu pengetahuan, dan sastra. Bahkan, sebagian fukaha menyatakan wajibnya seorang perempuan pintar untuk mengajarkan ilmu agama kepada sesama mereka, seperti pernah dilakukan Aisyah dan sahabat-sahabat perempuan lainnya.

Allah Swt. berfirman kepada istri-istri Rasulullah saw., “Ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu yakni ayat-ayat Allah (Al-Qur’an) dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Mahateliti.” (arti Surat Al-Ahzab ayat 34).

Hanya, seorang guru perempuan mesti memerhatikan ketentuan-ketentuan agama bagi kaum perempuan, seperti kewajiban menjaga kehormatan, kemuliaan, dan kesucian mereka, tidak berbaur dengan laki-laki asing, serta tidak berhias secara berlebihan (tabarruj).

Adapun ilmu-ilmu umum yang terbilang sangat penting untuk dipelajari kaum perempuan, seperti ilmu kedokteran, wajib diajarkan oleh para pakar di bidangnya.

Pendidikan adalah pondasi utama pembangunan masyarakat, dan kehadiran guru-guru yang berkompeten sangat penting untuk membimbing generasi penerus. Dalam konteks ini, peran guru perempuan menjadi aspek yang sangat dihargai dalam Islam.

Dalam perspektif hukum Islam, perempuan memiliki hak dan tanggung jawab untuk menjadi guru. Pandangan fukaha menegaskan bahwa tidak ada halangan hukum yang menghambat perempuan untuk berperan sebagai pendidik.

Bahkan, beberapa fukaha menyatakan kewajiban perempuan yang memiliki pengetahuan agama untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada sesama perempuan, sejalan dengan praktek yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan terdahulu seperti Aisyah.

Selain itu, pemberdayaan perempuan sebagai guru bukan hanya sesuai dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga dapat memperkaya dan memajukan masyarakat Islam secara keseluruhan.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih