KOMENTAR

HOROR tidaknya kisah berikut ini tergantung persepsi masing-masing, yang tentunya terpengaruh oleh pengalaman sosiologis, antropologis, psikologis dan lain-lainnya. Berikut ini kejadiannya:

Sang suami hendak berangkat pergi memancing ke luar kota bersama temannya. Maka istrinya bergegas memasukkan peralatan pancing ke dalam mobil. Tak ketinggalan dimasukkan juga beberapa rantang makanan, beberapa bungkus snack, minuman dan tikar serta payung.

Dengan tubuhnya yang gemuk, sang istri bergerak gesit mondar-mandir menyiapkan perbekalan suami. Tak lupa diciumnya dengan takzim tangan lelaki yang amat dicintainya itu.

Begitu mesin mobil mulai dinyalakan, sang suami berteriak karena dompetnya tidak ada. Dengan gerakan cekatan, istrinya pun datang mengulurkan dompet. Suaminya menerima sambil menggerutu.

Istrinya tersenyum manis. Mobil melaju, dan di pagar rumah perempuan itu melambai-lambaikan tangan. Di dalam mobil sang suami mendengus, “Istriku itu tidak pandai berbakti sama suami.”

Teman yang duduk di sebelahnya diam seribu bahasa, tetapi hatinya membatin. Sulitnya baginya menerima kalimat terakhir itu. Apakah sang istri harus sujud menyembah baru dikatakan berbakti pada suami?

Sebagai lelaki, dia tidak tega melihat betapa repot istri dari sahabatnya itu. Dia juga punya istri, tetapi dia menolak diperlukan atau dilayani karena dirinya terbiasa mandiri. Dia adalah pria dewasa yang menjadi suami, bukan anak-anak lagi.   

Jangan terburu-buru melabeli lelaki di kisah pembuka itu sebagai suami yang keterlaluan atau memberinya cap yang buruk-buruk. Karena segala sesuatu ada sebab musababnya, tidak mungkin tiba-tiba saja dia menyimpulkan, “Istriku itu tidak pandai berbakti sama suami.”
Sebetulnya pangkalnya adalah budaya patriarkhi yang telah berakar setua peradaban manusia itu sendiri. Ini telah menjadi momok yang terlalu lama dan terus terjadi.

Alfian Rokhmansyah pada bukunya Pengantar Gender dan Feminisme menyebutkan patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi, budaya patriarki adalah budaya yang dibangun atas dasar hirarki dominasi dan subordinasi yang mengharuskan laki-laki dan pandangannya menjadi suatu norma.

Sejak zaman purba, kekuatan atau maskulinitas amat dipuja, apalagi kemampuan bertahan hidup ditentukan dengan kekerasan bahkan peperangan. Pada medan-medan yang keras itulah lelaki menjadi dominan, dan terciptalah budaya patriarki. Lelaki adalah penguasa dan yang lemah (perempuan) posisinya melayani.

Sayangnya, keluarga memang peran penting dalam pelestarian budaya patriarki sehingga idiologi kuno ini masih langgeng hingga di era modern. Bukankah kita sering mendengar orangtua yang berkata, “Kamu itu perempuan,” dalam rangka mengalahkan anak perempuannya dari kuasa anak laki-laki.

Dalam pendidikan anak laki-laki lebih diutamakan dari saudarinya yang perempuan. Bahkan dalam perkara pangan, sandang dan kebutuhan hidup lainnya anak perempuan sudah dilatih untuk mengalah. Sehingga kelak anak-anak perempuan itu menikah, mereka menjadi ikhlas menerima sikap patriarki dari suaminya.

Konkritnya, budaya patriarki itulah yang berperan besar membuat definisi bakti seorang istri, contohnya:

Di sebuah suku di pedalaman Indonesia, suami diagungkan sebagai bibit. Sehingga  yang bekerja keras adalah istrinya. Suami lebih banyak santai dan ngobrol-ngobrol saja.
Dalam sebuah budaya suatu suku, bakti istri itu adalah ke surga ikut ke neraka juga turut. Hal ini merujuk ungkapan bahasa tentang perempuan swarga nunut neraka katut , ke surga hanya menumpang laki-laki (suaminya), kalau ke neraka terseret juga. Pepatah itu pada mulanya bertujuan mulia, tetapi dalam praktiknya justru menyulitkan kaum wanita.

Dalam budaya India, di antara bakti istri tergambar dari tradisi Sati. Apabila suami mati, jasadnya dibakar. Maka sebagai tanda bakti terhadap suami, istrinya ikut terjun ke dalam kobaran api itu, membakar dirinya hidup-hidup. Penjajahan memang buruk, tapi ada untungnya India dijajah Inggris yang menghentikan tradisi bakar janda itu.  

Lebih jauh lagi ke belakang, dalam budaya Arab Jahiliyah, istri menjadi taruhan judi, bisa diambil alih oleh anak tiri, alias diwariskan seperti harta benda, atau diserahkan pada orang lain. Boleh dikatakan hampir setiap peradaban dunia mempunyai noda dalam budaya patriarki, yang di atas hanya sedikit contoh saja. Banyak kok yang lebih menyeramkan!

Apabila sejarah patriarkhi disingkap, maka kisah pembuka tadi belum ada apa-apanya. Meskipun menimbulkan kegeraman, karena yang membacanya adalah masyarakat modern dengan peradaban digital yang telah kenyang dengan menu emansipasi, walaupun –insyaallah- sang istri ikhlas melayani suaminya.

Persoalannya muncul kalau istri tidak mau, tidak mampu atau tidak ikhlas dengan standar tinggi bakti versi suami. Contohnya, dalam sebuah kasus perceraian pasangan muda yang baru menikah beberapa bulan tetapi dengan lekas kandas kisah cintanya.

Pasalnya, suami menuduh istri tidak berbakti. Bahkan dibanding ibu kandungnya saja, sang istri tidak ada baktinya. Istri tak kalah galak, dia menuduh suaminya kekanak-kanakan, persis anak kecil, masak mengambil koran yang berjarak dua meter saja harus menyuruh istri.

Tuh kan!

Kalau bakti seorang istri dipakai standar hasil cipta, karsa dan budaya manusia, dijamin akan terjadi silang sengketa. Dari itu, umat manusia membutuhkan nilai-nilai idealis, yang mana kaum muslimin dapat memperolehnya dari kitab suci Al-Qur’an.

Namun secara konkritnya, pengamalan Al-Qur’an itu terdapat pada pribadi Nabi Muhammad. Dan akan sulit dibantah ternyata manusia agung itu justru kedapatan melayani istri.
 
Zaitunah Subhan dalam buku Al-Qur’an dan Perempuan mengutip kisah dari Anas, dia berkata, “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi Saw menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang unta beliau untuk Shafiyyah (istri beliau).

Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan kemudian Shafiyyah naik dengan meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.”

Pada berbagai hadis terdapat beberapa pelayanan dari Rasulullah terhadap istrinya. Beliau mendampingi dan melayani istri yang sedang sakit. Rasul melarang seorang suami pergi berjihad dan menyuruhnya untuk mengurusi istri yang sakit.
 
Pernah pula Rasulullah yang berada di masjid didatangi oleh istri. Ketika berpamitan, beliau menyempatkan diri mengantar istrinya, bukan sekadar melambaikan tangan belaka. Dan ketika berada di tengah keluarga, para istri menjadi saksi berapa beliau sibuk dengan pekerjaan rumah tangga.




Dunia Adalah Ujian: Menjaga Keseimbangan Emosi di Tengah Badai Kehidupan

Sebelumnya

Ingat Akhiratmu, Maka Duniamu Terasa Mudah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur