Ilustrasi seorang pria menatap lautan. (Freepik)
Ilustrasi seorang pria menatap lautan. (Freepik)
KOMENTAR

PALING mudah memang menilai orang lain—saking gampangnya, hingga terkadang kita melakukannya bahkan sebelum menyadarinya. Kita terlalu cepat memberi cap: gagal, buruk, rendah, bodoh dan lainnya. Menjadi “juri” atas hidup orang lain seolah-olah memberi kekuasaan kecil untuk merasa lebih baik dari seseorang yang tengah berjuang mati-matian. Namun, siapa sangka, sikap menjadi “juri” ini tak pernah lahir dari kekuatan. Ia justru muncul dari luka-luka tersembunyi yang belum selesai bagi orang yang kecewa terhadap dirinya sendiri.

Di balik mata yang menilai, sering kali tersembunyi hati yang belum damai. Seseorang yang belum menerima dirinya, akan mencari-cari kesalahan di luar dirinya. Ia berharap bisa merasa lebih tinggi dengan merendahkan yang lain, seolah menara yang ia bangun dari runtuhan orang lain bisa membuatnya menjulang. Namun sayang, itu hanya ilusi. Karena sesungguhnya, menyakiti tak pernah menyembuhkan, dan meremehkan tidak akan pernah membuat kita lebih mulia. Apa yang tampak sebagai penghakiman, kadang hanyalah jeritan sunyi dari jiwa yang rapuh.

Deru debu kehidupan turut andil membentuk kita menjadi penilai tanpa empati. Media sosial menggiring manusia ke panggung tak kasatmata, tempat kita saling mempertontonkan keberhasilan, kebahagiaan, dan kesalehan. Semua tampak sempurna—hingga membuat kita lupa bahwa realitas sering kali jauh dari potret yang ditampilkan. Di balik foto-foto ceria dan kutipan-kutipan bijak, bisa jadi tersembunyi air mata yang belum kering dan luka-luka batin yang terus menganga. Namun, alih-alih memahami, kita sibuk membandingkan. Alih-alih menguatkan, kita lebih doyan menghakimi.

Kita pun lupa bahwa setiap manusia memanggul takdirnya sendiri-sendiri. Ada yang berjalan perlahan dengan luka di kakinya. Ada yang tersenyum sambil menahan perih di dadanya. Ada yang bangkit meski dunia seolah tak memberinya kesempatan. Maka ketika kita mencibir langkahnya, bukan hanya kita meremehkan perjuangannya—kita juga telah mencabut hakikat kemanusiaan dari hati kita sendiri.

Padahal, banyak orang yang sebenarnya tengah berjuang dalam diam. Mereka mencoba bangkit dari kegagalan atau luka masa lalu, sangat disayangkan jika langkahnya terhenti karena vonis sosial yang menghantam. Ucapan yang tampak ringan bagi si pemberi komentar, bisa menjadi beban berat yang tak tertanggungkan oleh orang yang sedang terjungkal. Betapa banyak cahaya padam sebelum sempat menyala, hanya karena lidah yang tak terjaga dan hati yang tak mau mengerti.

Sikap menjadi “juri” yang hakimi juga memadamkan cita rasa empati. Ketika terlalu sibuk menilai, kita kehilangan kemampuan untuk mendengar dan memahami. Kita lupa bahwa tidak semua luka terlihat, dan tidak semua kekeliruan muncul tanpa sebab. Seandainya kita mau berhenti sejenak dan benar-benar mau mendengar, mungkin kita akan menangis bersama mereka, bukan menertawakan. Dan sekiranya kita berada di posisi mereka, belum tentu kita bisa bertahan setegar itu.

Fenomena ini menajdi “juri” bukan hanya menyedihkan, tapi juga berbahaya. Ia melanggengkan budaya palsu: orang-orang dipaksa untuk tampil baik, bukan karena ingin menebar inspirasi, melainkan karena takut dijatuhkan. Tekanan untuk “terlihat berhasil” menumpulkan kejujuran, memaksa kita memakai topeng, dan membuat kita menjauh dari diri sendiri. Dalam dunia semacam ini, keaslian menjadi langka, dan kebahagiaan berubah menjadi pencitraan yang melemahkan.

Jadilah manusia yang menolak menjadi “juri” kehidupan pihak lain. Karena dunia sudah terlalu sesak oleh penilaian, tapi terlalu lapar akan kasih sayang. Mari letakkan palu penghakiman, dan gantilah dengan tangan yang menguatkan. Jika pun harus menegur, tegurlah dengan cinta. Jika ingin menasihati, lakukan dengan ketulusan. Karena kita semua sedang berjalan tertatih di deru-debu kehidupan masing-masing—dan tak ada satu pun di antara kita yang bebas dari luka.

Surah Al-Hujurat ayat 12, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.”

Ayat ini bukan sekadar larangan. Ia adalah teguran langit, agar kita menjaga lisan dan menundukkan hati. Betapa mengerikannya perumpamaan itu: memakan daging saudara sendiri yang telah mati. Maka siapa pun yang gemar menggunjing dan menghakimi, sesungguhnya sedang menggerogoti kemanusiaannya sendiri. Allah tak hanya ingin kita menjadi hamba yang taat, tetapi juga manusia yang lembut—yang mampu melihat orang lain bukan dari sisi lemahnya, tetapi dari usaha dan doanya.

Biarlah kita menjadi manusia yang melindungi, bukan menghakimi. Kita yang mendoakan dalam diam, bukan mencibir di hadapan publik. Karena pada akhirnya, bukan seberapa sering kita menilai orang lain yang menjadi ukuran kualitas diri—melainkan seberapa besar kita bisa memahami, memaafkan, dan mencintai, meski tak selalu sepemahaman.




Levina Istiazah, Jemaah Haji Termuda dari Jateng: Sebuah Panggilan Cinta dari Allah di Usia 18 Tahun

Sebelumnya

5 Rahasia Sukses Dunia-Akhirat yang Wajib Diamalkan Perempuan Hebat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur