Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BETAPA campur aduknya perasaan pejabat itu, tatkala secara terbuka dirinya meminta maaf tidak mampu menghadapi mafia, yang membuat rakyat menderita akibat krisis minyak goreng.

Sudah empat purnama berlalu, masalah minyak goreng hanya terbelah dua saja; harga dimurahkan tetapi minyak goreng nyaris menghilang atau minyak goreng membanjir di pasaran tetapi harganya mahal.

Dan di negeri ini pula tercipta berbagai keajaiban. Dan yang terbaru, begitu harga minyak goreng dibebaskan kepada selera pasar, ibarat sulap, tiba-tiba saja minyak melimpah ruah di pasaran. Jadi, selama itu minyak goreng piknik kemana sih?

Dari kejengkelan itu muncul pula harapan, lain kali cobalah rokok yang dibuat langka selangka-langkanya, jangan minyak goreng dong! Soalnya kita ngeri melihat emak-emak berjuang keras antri lama demi seliter minyak goreng. Coba sesekali giliran bapak-bapak yang antri panjang beli rokok yang teramat langka. Kapan ya?

Kini, pejabat itu seperti memikul “dosa besar” para mafia, karena muaranya pejabat itulah yang menjadi sasaran amukan amarah, yang kemudian bergema pula tuntutan agar dirinya itu dicopot.

Sama mafia kok kalah!

Orang-orang yang ngomong begitu tampaknya belum pernah head to head sama yang namanya mafia. Ngomong sih gampang!

Perang menghadapi mafia mustahil akan dimenangkan hanya dengan mengandalkan satu orang saja. Karena mafia itu bagaikan gurita raksasa dan sangat berpengalaman mencengkram bahkan menjungkirbalikkan ekonomi bangsa ini. Mafia itu bahkan lebih licin dari minyak goreng itu sendiri. Mafia beraksi bagaikan jelangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar.

Makhluk halus yang disebut mafia ini teramat lihai menggunting dalam lipatan, menikam dari belakang.

Mafia tega berpesta di atas genangan airmata darah saudara-saudara sebangsa. Karena mafialah yang paling diuntungkan di setiap kali terjadi kekacauan.

Intinya, mafia itu memang jahat. Ya, namanya saja mafia! Bagaimana mungkin kita mengharapkan para mafia memilik akhlakul karimah.

Kita tidaklah mungkin mengorbankan lebih banyak lagi hanya demi menanti keinsyafan para mafia. Apalagi kita dapat melakukan pencegahan mengguritanya sepak terjang mafia. Dan jadi lebih menarik apabila kita dapat mengendalikan diri sendiri agar tidak terperangkap ikut berperangai bak mafia.

Apa maksudnya?

Aksi kita memborong minyak goreng lalu menyimpan banyak stok di rumah justru menimbulkan panic buying dan membuat minyak itu kian langka, kemudian mafia pun makin merajalela. Ketika yang melakukan panic buying itu jutaan rumah tangga, yang ikut menimbun minyak goreng, maka jika dijumlahkan kejadian penimbunan akibat panic buying tak kalah menyeramkan dari ulah para mafia.

Apabila kita membeli minyak goreng secukupnya, dengan membangun kesadaran berbagi kepada emak-emak lain yang juga membutuhkan, maka cara berkeadilan begini akan menjadi pukulan telak bagi mafia.

Kemudian seorang tokoh politik memberikan alternatif selain menggoreng, dimana emak-emak tetap dapat memasak dengan merebus dan mengukus. Sebetulnya usulan ini mengandung perspektif positif, selain membuat murah biaya masak, juga merupakan pukulan berat bagi mafia, sebab masyarakat telah mengurangi konsumsi minyak goreng toh!

Tetapi, aduh! Usulan yang sebetulnya sehat bagi kantong dan bagus buat kesehatan itu malah dijadikan sasaran bahan bully.

Sebetulnya, tidak ada masalah sih jika kita suka atau benci dengan seorang tokoh politik. Suka atau benci kan perkara hati masing-masing. Akan tetapi, kebencian kepada seseorang jangan sampai membuat kita berlaku tidak adil.

Ambil hikmah itu tanpa peduli dari mana asalnya. Kalau memang itu telur, manfaatkanlah sekalipun keluarnya dari dubur ayam. Tapi, begitulah kecamuk politik jika diseret ke medan ekonomi!

Sepahit apapun sengkarut minyak goreng, hendaknya tetap memberi kita kesempatan memetik hikmah, terutama makin memahami mengapa Islam begitu teramat tegas dalam mengawasi pasar.

Bahkan dalam hadisnya, Nabi Muhammad berani menyebut betapa banyak setan di pasar. Namun, beliau tidak membiarkan setan-setan itu bebas berkeliaran menyebar virus kejahatan, tetapi menyiapkan perangkat pengawasan yang teramat ketat. Jangankan mafia, setan-setan pun mesti diberangus dari pasar.

Abu Hudzaifah Ibrahim & Muhammad ash-Shayim dalam buku Mengapa Malaikat dan Setan di Rumah Kita? (2020: 43) menerangkan, setan pun senang berada di tempat-tempat yang mereka dapat dengan leluasa berbuat kerusakan, seperti pasar. Rasulullah saw. bersabda, “Pasar merupakan tempat bertempurnya setan dan dengannya setan mengibarkan bendera.” (HR. Muslim)

Makanya, Nabi Muhammad turun tangan langsung mengawasi kondisi pasar, mencegah penipuan, kecurangan atau malah penimbunan barang. Khalifah-khalifah berikutnya tetap meneruskan cara pengawasan Rasulullah tersebut.

Pengawasan terhadap pasar itu yang menjelma berupa petugas muhtasib, yang selama berabad-abad dilestarikan dalam berbagai pemerintahan Islam, demi menghindari terjadinya kekacauan ekonomi akibat tingkah polah mafia.




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur