RATUSAN perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia turun ke jalan pada Rabu (3/9), menggelar aksi damai di depan gedung DPR. Mereka menuntut Presiden Prabowo menghentikan kekerasan dan tindakan represif aparat terhadap masyarakat yang berani menyuarakan pendapat.
Massa mengenakan kaos pink bertuliskan “Protes Adalah Hak” dan membawa sapu lidi sebagai simbol persatuan serta pembersihan praktik koruptif. Spanduk bertuliskan “Hentikan Kekerasan Negara” hingga “Reformasi Kepolisian Secara Menyeluruh” terbentang, menegaskan keberanian perempuan berada di garis depan perjuangan demokrasi.
Gerakan ini mengingatkan publik pada aksi legendaris “Suara Ibu Peduli” tahun 1998. Saat itu, Karlina Supelli bersama para aktivis perempuan menuntut turunnya harga susu dan bahan pokok, yang kemudian melebar menjadi kritik terhadap kepemimpinan Soeharto. Meski aksi mereka cepat dibubarkan aparat, pesan yang tertinggal sangat kuat: jika ibu sudah turun ke jalan, berarti ada persoalan besar dalam pemerintahan.
Mutiara Ika, aktivis Perempuan Mahardhika, menegaskan bahwa semangat “Suara Ibu Peduli” menjadi inspirasi utama aksi hari ini. “Itu mengajarkan bahwa gerakan perempuan punya peran penting menjaga demokrasi,” ujarnya, seperti dilaporkan BBC.
Aktivis senior Nursyahbani Katjasungkana menilai gerakan perempuan selalu mampu menyingkap realita sosial secara lebih jujur. Perempuan, katanya, kerap merasakan dampak paling nyata dari ketidakadilan ekonomi maupun politik. Ia mencontohkan kisah seorang ibu yang kehilangan anaknya, pengemudi ojek online Affan Kurniawan. “Hidup ibunya sangat bergantung pada Affan. Kehilangan itu menunjukkan betapa kerasnya beban yang dipikul perempuan,” katanya.
Gerakan Aliansi Perempuan Indonesia hari ini menunjukkan bahwa suara perempuan bukan sekadar pelengkap. Ia adalah kekuatan moral, politik, dan sosial yang bisa mengguncang kekuasaan. Perempuan tidak hanya berperan di ranah domestik, melainkan juga di ruang publik untuk membela hak rakyat.
KOMENTAR ANDA