GEJOLAK sosial-politik yang melanda Indonesia dalam beberapa pekan terakhir menandakan adanya krisis kepemimpinan moral. Hal ini disampaikan Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia Mohammad Reza saat berbicara tentang situasi kebangsaan pascameningkatnya aksi unjuk rasa di berbagai kota besar.
“Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga Makassar, jalanan dipenuhi massa yang melampiaskan amarahnya. Ini bukan sekadar gejala spontan, tetapi akumulasi keretakan antara negara dan rakyat,” ujar Reza, di Jakarta, Selasa (2/9) dalam keterangan yang diperoleh Farah.id.
Ia menambahkan, kerusuhan telah mengganggu aktivitas ekonomi, merusak fasilitas umum, dan bahkan berpotensi menimbulkan gesekan horizontal.
Menurutnya, krisis yang terjadi dapat ditelusuri dari tiga defisit utama. Pertama, defisit kepercayaan di mana publik semakin kehilangan keyakinan terhadap lembaga negara seperti DPR dan Polri. Kedua, defisit representasi, ketika parlemen, partai politik, dan lembaga formal tidak lagi dipersepsi sebagai kanal aspirasi, melainkan arena transaksi kekuasaan. Ketiga, defisit kepemimpinan moral, yakni absennya figur negarawan yang mampu menjadi titik temu dan penuntun arah bangsa.
“Bangsa ini tengah kehilangan figur negarawan. Yang kita jumpai hanyalah pejabat administratif, bukan sosok visioner yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Padahal, negarawan adalah perekat sosial, pemberi arah, dan penyembuh luka kolektif,” tegas Reza.
Meski demikian, ia mengapresiasi langkah pemerintah yang pada Minggu, 31 Agustus 2025, menggelar pertemuan antara Presiden dengan Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, serta para ketua umum partai politik di Istana Negara.
“Walau terasa terlambat, pertemuan itu penting untuk menurunkan tensi dan menunjukkan negara masih mau mendengar aspirasi rakyat. Ini juga bagian dari praktik demokrasi deliberatif,” jelasnya.
Reza menegaskan, demokrasi Indonesia kini berada dalam posisi rapuh. “Demokrasi memberi ruang ekspresi, tapi tanpa sosok negarawan, suara rakyat bisa kehilangan arah dan berubah jadi anarki. Hubungan demokrasi dan negarawan itu krusial, sistem memberi wadah, tapi negarawan memberi jiwa dan moralitas,” paparnya.
Mengutip James Freeman Clarke, Reza menekankan, “Politisi memikirkan pemilihan berikutnya, sementara negarawan memikirkan generasi berikutnya.”
Menurutnya, kalimat itu relevan bagi elite bangsa saat ini. “Jika pemimpin hanya sibuk dengan kepentingan elektoral jangka pendek, demokrasi kita akan kehilangan arah,” tambahnya.
Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia Mohammad Reza (Ist)
Untuk meredakan eskalasi dan membangun kembali legitimasi negara, Reza menawarkan tiga langkah strategis.
Pertama, rekonstruksi kepemimpinan publik, di mana pemimpin perlu berani bersikap, mengakui kesalahan, dan membangun kembali public trust.
Kedua, revitalisasi institusi representasi, agar MPR, DPR, DPD, dan partai politik benar-benar kembali menjadi kanal aspirasi rakyat.
Ketiga, transformasi kebijakan, dari pendekatan represif-lamban-indoktrinatif menjadi persuasif-cepat-edukatif.
“Implikasi jangka pendeknya adalah meredakan ketegangan sosial melalui dialog. Jangka panjangnya, kita bisa membangun demokrasi substantif dengan kepemimpinan kenegarawanan sebagai fondasi kebangsaan,” jelasnya.
Reza pun kembali menekankan pentingnya hadirnya figur negarawan. “Para pemimpin bangsa jangan hanya jadi administrator negara. Mereka harus hadir sebagai negarawan yang membangun kepercayaan, menuntun arah bangsa, dan memastikan energi sosial rakyat berubah menjadi kekuatan demokrasi yang sehat,” pungkasnya.
KOMENTAR ANDA