Ali Murtadho/Disway
Ali Murtadho/Disway
KOMENTAR

Untung ia makan nasi goreng. Kalau wajahnya tidak mbrabak ia tidak akan melakukan PCR.

"Memang saat ini penularan begitu tinggi," ujar dokter Terawan. Ia minta agar Ali jaga imun, istirahat, isolasi mandiri.

Data Worldometer Selasa pagi lalu memang mengagetkan. Indonesia sudah menjadi juara dunia Covid-19: 29.745 orang. Kemarin sore jadi 31.000. India sudah terkendali, tinggal 26.612 orang.

Menko Luhut Binsar Panjaitan sendiri mengungkapkan data jelas sekali: 90 persen yang melanda Jakarta belakangan ini adalah varian D. Keterangan Luhut itu tersiar luas di semua media kemarin sore.

Apakah yang menular ke Ali Murtadlo juga varian Delta? "Hampir pasti itu virus baru. Kan sudah divaksin VakNus. Mungkin varian Delta," ujar Prof Dr Nidom dari Laboratorium PNF Surabaya.

"Biar pun sudah divaksin, vaksin apa pun, masih bisa terkena virus varian baru. Termasuk VakNus," kata Prof Nidom.

Bedanya, kalau diizinkan, Vaknus bisa menyesuaikan diri dengan cepat. "Dalam tiga minggu VakNus sudah bisa membuat vaksin untuk anti varian baru," ujar Prof Nidom, ahli virus dari Universitas Airlangga itu.

Sedang vaksin lain, untuk menyesuaikan diri, perlu waktu lama. Bisa satu tahun.

"Praktis harus melakukan berbagai uji coba sejak dari awal lagi," katanya.

"Sedang untuk VakNus tinggal mengubah antigennya. Tentu kita harus lebih dulu mendapatkan contoh virus varian barunya," ujar Prof Nidom.

Kenapa semua ini bisa terjadi? Yang sudah divaksin bisa tertular varian baru? Itu karena vaksin yang disuntikkan belum mencakup varian baru. Berarti ada yang salah di keterangan awal: bahwa Vaknus sudah mencakup varian baru.

"Itulah risiko vaksinasi dilakukan terlalu awal. Ketika virus belum stabil. Masih berubah-ubah," ujar Nidom.

Kini varian Delta sudah begitu meluas. Vaksinnya belum ada. Masih akan lama. Yang siap membendungnya, yang dalam waktu paling singkat, adalah VakNus. Itu kalau penjelasan Prof Nidom bisa kita pegang.

Ali tidak merasakan gejala apa pun. Tidak panas (36,7), tidak batuk, tidak mual, tidak sering ke belakang, tidak kehilangan rasa.

Tapi Ali positif Covid-19. Dengan CT 19.66.

"Kalau tidak rasa apa-apa mengapa tes Covid?"

"Istri saya melihat wajah saya mbrabak (kemerahan)," ujar Ali. "Lalu diminta tes".

Sang istri, seorang guru besar ekonomi, baru saja negatif dari Covid-19. Dua minggu lalu.

Ali tidak mau tes. Ia memilih becermin. "Rasanya wajah saya sama saja," katanya.

Di hari ketiga sang istri tetap mengatakan wajahnya mbrabak. Ali becermin lagi: tidak ada perubahan apa-apa. Juga tidak ada rasa apa-apa.

Tanpa izin sang ayah, anak Ali mendaftarkan sang ayah ke tempat tes. Kemarin pagi. Ali tidak berkutik. Berangkat. Positif.

"Bagaimana istri tahu perubahan wajah Anda yang begitu samar?"

"Istri saya sensitif sekali. Sering mengingatkan kalau wajah saya mbrabak," jawabnya.

"Berarti sudah sering mbrabak?"

"Sering. Setiap kali makan gorengan wajah saya mbrabak," katanya.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway