KOMENTAR

"Saya jauh-jauh dari Indonesia sengaja hanya ingin ke sini," kata saya. Sedikit berlebihan. Biasa. Bekas wartawan.

Dia tampak serius. Mengucapkan terima kasih dengan tulus. Lalu berkata: kalau jam 20.30 mau?

"Mau!," jawab saya.

Persoalannya: perut saya yang tidak mau.

Maka kami memutuskan cari makanan kecil dulu. Sambil keliling kota. Ada waktu 4 jam lebih.

Ketemu Chinese food. Saya sengaja menghindari masakan Amerika. Terlalu berat. Dan lagi jam 20.30 nanti sajiannya masakan Amerika banget.

Yang juga harus saya putuskan segera: berarti harus bermalam di Lexington. Harus cari hotel.

Kota ini kecil. Penduduknya hanya 7.500 orang. Sulit cari hotel.

Tiba-tiba saya memergoki bangunan tua. Ada tulisan kecil 'hotel'. Bunyi tulisan itu yang menggoda saya: Robert E. Lee Hotel.

Saya masuk ke beberapa situs pemesanan hotel. Tidak ada yang menawarkan hotel itu. Saya pun langsung masuk lobinya. Saya tahu ini: petugas lobi pasti akan minta saya menempuh jalur online. Tapi kan tidak ketemu.

Akhirnya saya tahu: tidak ada di situs karena sudah tidak ada kamar.

Saya juga tahu: hotel ini dibangun tahun 1926. Oleh investor pengagum Jenderal Robert Lee. Yang jasanya besar dalam perang sebelumnya: melawan Meksiko.

Akhirnya kami mencari hotel sembarangan. Hotel kecil. Agak di pinggir kota. Waktu empat jam saya manfaatkan untuk ke Universitas Washington and Lee. Yang indah sekali.

Lalu habis. Tidak ada lagi yang menarik untuk dilihat. Memang ada akademi militer terkenal di sini tapi saya ragu apakah boleh masuk ke sana.

Jam 19.30 saya sudah tiba kembali di The Red Hen. Yang ada hiasan ayam merah digantung di depan pintunya. Yang ada bangku di trotoar kecilnya. Saya akan menunggu di bangku itu saja.

Nasib baik: seseorang menyapa saya. "Itu rumah saya," katanya. Sambil menunjuk bangunan dua lantai di sebelah restoran. Yang hanya dibatasi jalan.

Ia kenal baik pemilik restoran. Anaknya pun bekerja di restoran itu.

"Menantu saya juga bekerja di Asia. Di Bangkok. Saya sudah beberapa kali ke sana," ujarnya merespon asal usul saya.

Ia pun menawarkan jasa: membantu menghubungi pemilik restoran. Untuk bisa mendapatkan prioritas kursi.

"Tidak," jawab saya. "Saya tadi sudah setuju jadwal jam 20.30," kata saya lagi.

Ia seorang arsitek. Umurnya 71 tahun. Ia lewat depan saya untuk meletakkan pot bunga kecil. Ditaruh di pinggir trotoar.

"Saya sudah tidak pakai lagi. Siapa tahu ada orang yang mau ambil," katanya.

Kami pun menjadi akrab. Lalu ia menawarkan diri menjadi pemandu wisata dadakan. Jalan kaki di sekitar restoran itu. Ada bangunan bekas penjara. Yang sekaligus bekas gedung pengadilan.

Dari situ ia menunjuk lantai atas rumahnya.

"Anda tahu kenapa jendela-jendela rumah saya itu begitu besar?", tanyanya.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway