KERINDUAN bukan semata tentang kisah syahdu sepasang sejoli. Ada kalanya manusia merasakan rindu teramat dalam terhadap sesuatu yang sudah lama sekali tidak ditemui atau dirasakan atau terhadap seseorang yang telah pergi dari sisinya.
Ada satu kerinduan yang seharusnya dirasakan seorang Muslim, yaitu kerinduan terhadap Muhammad saw. Dialah Rasul yang dengan cinta kasih dan pengorbanannya membawa manusia berpindah dari gelapnya zaman jahiliyah menuju cahaya Islam.
Meski dirundung, dihina, dicaci, disakiti, bahkan diperangi, Muhammad teguh menyebarkan tauhid dan syariat Islam. Selama 23 tahun menjadi nabi dan rasul, Muhammad tidak menyerah untuk menyelamatkan umatnya dari kerusakan akhlak menuju kemuliaan.
Banyak di antara umat Muslim kerap menuliskan caption “merindu Rasul” dalam unggahan media sosial mereka. Terlebih lagi setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, hari kelahiran Muhammad bin Abdullah, umat Muslim mencoba mengenang kehidupan sang Nabi Akhir Zaman. Sementara setiap tanggal 27 Rajab, kita bersyukur bahwa Nabi Muhammad ‘menawar’ jumlah rakaat salat menjadi lima waktu saat ia melaksanakan perjalanan Isra Mi’raj.
Shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas) adalah empat sifat Rasul yang kita senantiasa coba mencontohnya. Dengan empat sifat tersebut, Muhammad menjadi suri teladan dan inspirasi bagi umatnya.
Dari Anas ra., Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai saudaranya hanya karena Allah, dan membenci kekufuran layaknya ia benci dilemparkan ke dalam api (neraka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa jika seorang Muslim ingin merasakan kenikmatan beriman, maka salah satu yang harus bisa dilakukan adalah mencintai Rasulullah. Bukan sembarang mencinta, tapi mencintai dengan segenap hati.
Mengalahkan cinta kepada pasangan, orangtua, dan buah hati kita. Berat. Sulit. Terlebih karena kita hidup di zaman dengan segala ingar-bingar yang menjauhkan kita dari sosok Muhammad.
Kita mengakui Muhammad sebagai panutan dan idola, tapi kita enggan meniru kemuliaan akhlak dan kesalihan ibadahnya. Kita mengaku merindu untuk berjumpa dengan Muhammad, tapi kita memilih menjauh dengan mengerjakan berbagai kesia-siaan dalam hidup ini. Bukankah itu semua bertolak belakang?
Sama halnya ketika seorang istri merindukan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah, tapi selalu melihat kekurangan suaminya dan mengecilkan perjuangan suami dalam menghidupi keluarga. Atau ketika seorang suami merindukan hadirnya istri salihah namun tak mau sedikit pun membimbing istri layaknya seorang imam membimbing makmumnya. Tak berkeberatan istri bersolek dan berbusana sedemikian ‘indah’ hingga banyak mata terpikat penampilannya. Mungkinkah kerinduannya terobati?
Atau seseorang yang depresi dan merindukan kebahagiaan tapi memilih mengonsumi barang terlarang demi mencari kepuasan sesaat. Bukankah itu tidak berbeda dengan si kecil yang merindukan nilai baik dalam rapornya tapi enggan membuka buku lalu memilih bermain game jelang hari ujian? Merindu, tapi menjauh.
Kita mengaku merindukan kebaikan, tapi yang kita lakukan adalah menjauhi kesempatan berbuat baik. Jika itu terjadi terus-menerus, bagaimana mungkin kita akan menuntaskan rasa rindu kita dan meraih apa yang kita idam-idamkan?
Yakinlah, sekecil apa pun langkah kita menuju siapa atau apa yang kita rindukan, kita telah bergerak mendekatinya. Halangan dan rintangan mungkin bakal memundurkan jalan kita. Tapi bila kita menguatkan hati dan pikiran untuk menuntaskan rindu dan terus bergerak maju setapak demi setapak, insya Allah kita akan berhasil mewujudkannya.
Ibarat merindukan kekasih hati, kita akan berjuang untuk bisa bertemu dan memilikinya. Apalagi jika kita merindukan surga, perjuangan haruslah dikobarkan dengan segenap jiwa raga. Selama kita bernyawa. Jika rindu, janganlah kita menjauh.
KOMENTAR ANDA