Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SUDAH berbagai upaya keras dilakukan pemerintah, mulai dari karantina orang-orang dari luar negeri selama tiga hari, tujuh hari hingga sepuluh hari, pencegahan mereka yang datang dari negara-negara yang terjangkiti, hingga vaksinasi yang kebut-kebutan. Tetapi seperti ibarat bendungan akhirnya jebol juga pertahanan kita.  

Apa mau dikata, Omicron yang tidak kasat mata ini tetap saja masuk ke bumi pertiwi dan kian merajalela.

Ruang rawat inap di rumah sakit sudah kembali membludak, ribuan korban terus bertambah setiap hari, dan yang bikin jeri sudah mulai pula ada yang meninggal dunia. Ibarat perang semesta, Omicron seperti mengajak kita bertempur secara spartan dan juga kolosal.

Meski tentunya dengan teramat berat hati, pemerintah melalui pihak berwenang telah mengumumkan agar rakyat Indonesia siap sedia menyambut ledakan Omicron. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak!

Sempat terbersit harapan, setidaknya dengan masifnya vaksinasi di Tanah Air akan meminimalisir risiko terpapar Omicron, bentuk mutasi lain dari Covid-19. Dan kenyataan pahit yang tidak dapat dipungkiri, dua kali vaksin kok masih saja kita dapat terpapar. Omicron tampaknya lebih edan dari mutasi-mutasi sebelumnya.

Namun, manusia adalah makhluk yang keras kepala, kalau dipandang dari tabiat pantang menyerahnya.

Dua kali mengalami puncak gelombang pandemi, dan untuk yang ketiga kalinya ini insyallah kita jauh lebih siap. Malah kita hendaknya dapat menyambut secercah harapan, bahwa gelombang ketiga ini adalah ufuk baru dari terbebasnya umat manusia yang menyebalkan ini. Amin ya Rabbal Alamin!

Namun, tidak dapat dipungkiri, kini bukan hanya lelah akibat perang berkepanjangan melawan Covid-19, manusia juga dilanda kejenuhan, yang sebagiannya mulai bersikap pasrah. Kepasrahan itu ditampakkan dengan keengganan menerapkan protokol kesehatan 5 M; ada yang melepaskan masker, tidak menjaga jarak dan sebagainya.

Sikap fatalis ini apabila menjadi prinsip hidup justru berbahaya. Dan bahayanya akan lebih berlipat ganda kalau kepasrahan itu justru dipahami atau dilabelinya sebagai sikap tawakal. Padahal tawakal itu tetap berusaha, jauh berbeda dengan fatalis yang menyerah saja pada nasib.  

Oleh sebab itu, mari simak yang berikut ini:

Yusuf Qaradhawi dalam buku Tawakal Kunci Sukses Membuka Pintu Rezeki (2010: 69-70) menyebutkan, Muawiyah bin Quroh bercerita, Umar bin Khattab bertemu orang dari penduduk Yaman, maka Umar bertanya, “Anda siapa?

Mereka menjawab, “Kami adalah orang yang bertawakal.”

Maka Umar menjawab, “Anda bukan orang yang bertawakal, karena orang yang bertawakal adalah mereka yang menanam bijinya di tanah dan ia bertawakal kepada Allah Swt.”

Umar melihat sekumpulan orang yang duduk di masjid setelah shalat Jum'at, maka ia berkata kepada mereka, “Janganlah salah satu di antara kalian ini hanya duduk saja dalam mencari rezeki sambil berdoa, ‘Ya Allah berikanlah rezeki kepadaku’, sedang ia tahu bahwa tidak akan turun hujan emas dan perak dari langit, akan tetapi Allah akan memberikan rezeki kepada manusia sebagian dari mereka atas sebagian yang lain.”        

Omicron mulai membuat kita terpukul mundur lagi ke rumah masing-masing. Sejumlah daerah mulai membatasi pergerakan manusia, belajar tatap muka hanya boleh separuhnya, beberapa kegiatan mulai dilarang, dan pembatasan demi pembatasan dapat saja berujung pelarangan ini itu.

Boleh jadi kita akan melalui masa lockdown, atau apalah itu, yang membuat kita seperti terpenjara. Mau bagaimana lagi, harapan yang sempat mekar untuk era baru ternyata suram kembali. Kini Omicron meledak dan mungkin juga tengah meledek kita semua.

Sebagaimana pesan Umar bin Khattab, dari itulah prinsip tawakal memang penting kita pancangkan secara benar.

Sekadar info, Umar adalah khalifah yang sukses menjadikan negara Islam sebagai adikuasa alias terbesar di dunia. Dengan kecerdasan yang futuristik, ia mampu membangun manajemen pemerintahan yang bagus bahkan dipakai hingga detik ini.

Di masa Umar pula pernah terjadi pandemi yang memusnahkan separuh penduduk Syiria. Namun, dengan kecemerlangan akalnya, Umar bukan hanya berhasil menghentikan pandemi, tetapi juga dengan cepat kembali membangun negeri yang porak-poranda.

Dengan CV yang demikian mengkilap, wajar bila kita pun terpesona dengan pesannya. Bagi Umar bin Khattab tawakal itu bukan dengan cara duduk-duduk saja, sekali pun itu di masjid. Manusia harus terus bergerak, kreatif dan inovatif. Meski itu hanya dengan menanam satu biji, kelak akan tumbuh menjadi pepohonan yang bermanfaat.

Sulit membayangkan bagaimana kita akan melalui masa panjang pandemi ini tanpa Android, Smartphone, Tiktok, Youtube, Instagram dan lain sejenisnya. Sungguh pandemi ini datang tepat waktu, ketika teknologi demikian ciamik mendukung pertahanan bahkan perkembangan umat manusia.    

Berkat dukungan teknologi mutakhir, mestinya kita tidak terpedaya oleh ledakan Omicron, yang moga-moga tidak merenggut nyawa, tapi jangan pula meremukkan prinsip hidup kita. Kita hendaknya melihat tawakal secara progresif yang berkemajuan, dengan sokongan teknologi yang kian mencengangkan ini.
    
 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur