MANAJEMEN RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, mengakui telah lalai dalam kasus kematian pasien Johanes Patria Sitanggang pada 4 Mei 2025. Penyesalan dan permintaan maaf disampaikan langsung oleh Direktur RSUD Tarakan, dr. Weningtyas Purnomorini, MARS, saat menerima kedatangan keluarga almarhum Johanes, yang diwakili oleh ketiga kakaknya: Anna Tuning Sitanggang, Budiman Martono Sitanggang, dan Meilani Nurkalam Sitanggang. Pertemuan berlangsung di ruang rapat lantai 13 Gedung Sky RSUD Tarakan pada Kamis (5/6).
Dalam keterangannya, dr. Weningtyas menyampaikan bahwa pihak rumah sakit telah memberikan sanksi kepada dr. Diah Asih Lestari, Sp.B, dokter yang menangani pembedahan terhadap almarhum Johanes yang didiagnosis menderita radang usus buntu (phlegmon appendicitis).
“Terhadap dr. Diah, kami telah melakukan serangkaian proses audit medis dan etik, melibatkan Ikatan Bedah Digestif. Beliau telah kami skors selama enam bulan selama proses penyelidikan berlangsung,” ujar dr. Weningtyas, yang didampingi sejumlah pejabat RSUD Tarakan, dalam pernyataan tertulis yang diterima Farah.id.
Dalam pertemuan tersebut, dr. Weningtyas juga menghadirkan dr. Diah, yang tampak tertunduk lesu sepanjang acara. Ia menambahkan bahwa pihak RSUD Tarakan telah menjatuhkan Surat Peringatan (SP) ketiga kepada dr. Diah.
“Secara kepegawaian, tindakan yang dilakukan oleh dr. Diah sangat mencoreng nama baik rumah sakit,” lanjutnya.
Dr. Weningtyas juga mengakui bahwa komunikasi pihak RSUD Tarakan kepada keluarga pasien selama proses penanganan sangat buruk dan minim penjelasan. Namun, menurutnya, hal itu bukanlah alasan pembenar, karena kunjungan ke ruang perawatan pasien pascaoperasi adalah kewajiban tenaga medis.
Tuntutan Utama Keluarga
Pihak keluarga menduga kuat telah terjadi kelalaian berat (gross negligence) oleh dokter penanggung jawab, serta adanya pembiaran sistemik oleh manajemen RSUD Tarakan yang mengakibatkan kematian Johanes.
Sebelum somasi dan mediasi ini berlangsung, seluruh inisiatif klarifikasi datang dari pihak keluarga. Pihak RSUD Tarakan maupun dokter terkait tidak menunjukkan inisiatif, empati, maupun tanggung jawab, bahkan hingga lebih dari satu bulan setelah kematian almarhum.
Dalam pertemuan, keluarga menuntut agar dr. Diah memberikan penjelasan resmi secara tertulis. Mereka juga meminta RSUD Tarakan untuk melakukan pemeriksaan internal secara serius dan membawa kasus ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Selain itu, keluarga menuntut pencabutan permanen terhadap STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Izin Praktik) dr. Diah, serta pemecatan dari seluruh jaringan rumah sakit. Mereka juga akan menempuh jalur hukum melalui tuntutan pidana berdasarkan Pasal 359 dan 361 KUHP Lama, serta Pasal 190 KUHP Baru, termasuk gugatan perdata atas kerugian maksimal, baik materiil maupun emosional.
Keluarga juga meminta RSUD Tarakan untuk:
- Menyampaikan permintaan maaf resmi dan terbuka.
- Memberikan kompensasi nyata dan proporsional.
- Melakukan audit medis secara independen dan melibatkan publik.
- Menonaktifkan dr. Diah selama proses berlangsung.
- Melakukan evaluasi dan penggantian terhadap pejabat pengawas yang lalai.
- Mengaudit sistem mutu dan SOP kegawatdaruratan.
- Bertanggung jawab sesuai ketentuan Pasal 45 KUHP Baru.
Jika tuntutan ini diabaikan, keluarga menyatakan akan mengajukan pembekuan izin operasional unit layanan bedah RSUD Tarakan kepada Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan RI.
“Kami tidak sedang meminta belas kasih. Kami menuntut akuntabilitas penuh, karena yang diabaikan adalah hak atas hidup, yang dilindungi oleh konstitusi dan etika kedokteran. Ini bukan kelalaian kecil, melainkan bentuk perendahan terhadap nilai kehidupan manusia. Ketika seorang pasien datang ke rumah sakit, ia menyerahkan nyawanya dengan harapan untuk dijaga, bukan diabaikan,” ujar perwakilan keluarga.
“Ini bukan semata-mata kesalahan satu orang dokter. Ini adalah sistem yang bobrok, yang memungkinkan dokter bersikap sewenang-wenang tanpa pengawasan, evaluasi, atau empati. Ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip paling dasar profesi medis, yaitu rasa hormat terhadap kehidupan manusia,” lanjut pihak keluarga.
Pihak keluarga memberikan batas waktu 14 hari kepada dr. Diah dan RSUD Tarakan untuk memenuhi seluruh tuntutan.
Keluarga juga menilai bahwa kematian Johanes bukan sekadar kegagalan tenaga medis secara individual, melainkan kegagalan sistemik yang melibatkan berbagai jenjang pemerintahan, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan RI.
“Kematian ini adalah hasil dari kegagalan berjenjang — mulai dari kelalaian dokter, pembiaran oleh manajemen rumah sakit, tidak adanya kontrol oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hingga lemahnya sistem supervisi nasional dari Kementerian Kesehatan. Ini bukan hanya masalah RSUD Tarakan, melainkan cerminan dari buruknya tata kelola kesehatan publik di ibu kota negara,” tulis keluarga dalam dokumen tuntutannya.
“Apa yang terjadi di RSUD Tarakan mencerminkan wajah pelayanan publik Indonesia di Jakarta. Jika di ibu kota saja nyawa bisa hilang tanpa pertanggungjawaban, bagaimana nasib warga di daerah lain?” tambah mereka.
“Negara, melalui Pemprov DKI dan Kementerian Kesehatan, memiliki kewajiban hukum untuk melindungi hak hidup setiap warganya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kematian akibat kelalaian yang dibiarkan tanpa audit, tanpa sanksi, dan tanpa penjelasan adalah bentuk pembiaran sistemik oleh negara,” demikian pernyataan keluarga.
KOMENTAR ANDA