Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

PAGI itu telah terang, sarapan pun terhidang. Lalu terdengar tangisan balita yang menyentakkan telinga. Seorang ibu muda membopong anak mungilnya dan langsung menyerahkan ke pangkuan ibu mertua.

Ingat! Sang menantu memberikan anak yang menangis pada mertuanya lho!

Ibu mertua yang sedang asyik mengobrol dengan saudarinya langsung memeluk balita cantik itu. Dia membujuk hingga kerewelannya mereda. Lantas kemana menantu perempuannya?

Dia kembali tidur ke kamar, berbaring di peraduan. Menantu itu kelelahan terbang dari Kuala Lumpur ke Indonesia. Dia memang orang negeri jiran, warga negara Malaysia.

Sepotong adegan itu sontak membuat terperanjat sanak keluarga. Mereka kompak menilainya menantu tidak tahu sopan santun. Secapek apa pun tidaklah pantas dirinya menyambung tidur lagi sehabis Subuh. Apalagi pakai acara menyerahkan anak yang rewel pada ibu mertua.

Para hadirin telah menyiapkan mental, yang sejatinya mereka berkumpul mempersiapkan acara keluarga besar. Tetapi dengan adegan pagi ini, mereka bersiaga akan ada perang dunia berjudul; menantu tak beradab versus mertua nan terluka.

Namun hingga berhari-hari berikutnya, tidak terjadi perang itu. Menantu maupun mertua tampak akrab, bersenda gurau dalam nuansa gembira. Melihat situasi adem ayem, beberapa pihak mulai mempertanyakan.

Dan secara terbuka ibu mertua mengatakan pada sanak keluarga, itulah menantu impiannya. Dia merasa nyaman karena menantu perempuannya enak diajak bicara, periang dan mampu membangun suasana ceria. Perkara mengasuh cucu, sebagai nenek dia senang-senang saja. No problem! Non forsit!

Sebagian pihak keluarga yang terlanjur berharap, akhirnya gigit jari karena perang tidak terjadi. Di antara ibu-ibu itu ada yang berkata pada putranya, “Apa nanti saya bisa jadi mertua seperti dia?”

Besar kemungkinan salah satu dari dua hal ini yang jadi penyebabnya: Pertama, ibu mertua memang pas menemukan kriteria menantu impian itu ada pada istri putranya. Kedua, ibu mertua memang pandai bersyukur dan tidak banyak menuntut.

Ini amat subjektif, sangat-sangat subjektif. Rambut sama hitam tapi selera berlainan. Justru karena amat subjektif itulah masing-masing pribadi dapat menakarnya dengan bijaksana.

Rasulullah punya beberapa menantu, insyaallah semuanya menantu impian. Beliau tidak pernah membanding-bandingkan meski pun kondisi menantunya bagai langit dan bumi; Usman bin Affan seorang konglomerat, sedangkan Ali bin Abi Thalib orang hidup dalam kekurangan.

Maka dalam buku ‘Uyun al-Akhbar al-Ridha terdapat kutipan hadis yang mengandung sanjungan, bahwa Nabi Saw. bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya. Barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu harus masuk melalui gerbangnya.”

Pada diri Usman bin Affan, Rasul melekatkan kriteria menantu idaman itu; yang tajir sekaligus gemar beramal, pas sekali dengan karakter pribadi Usman. Pada Ali bin Abi Thalib, beliau melekatkan kriteria menantu idaman yang kaya ilmu dan luas wawasannya. Dan kriteria itu pas sekali dengan pribadi Ali bin Abi Thalib. Andai kriteria menantu idaman itu terbalik, aduh, bisa muncul huru-hara.

Beda suami, berlainan pula tipe istri idamannya. Lagi-lagi ini sangat subjektif, tergantung selera. Begitu istri mati-matian kursus masak demi menyiapkan hidangan daging rendang, tapi yang disaksikannya suami yang patah selera makan.

Karena kesal merasa tidak dihargai, maka istri pun balas dendam dengan memasak gulai jengkol. Aneh bin ajaib, makan suami amat lahap dan pakai acara nambah segala, yang berujung sanjungan, “Inilah istri idaman.”  

Jadi, mungkinkah ada istri idaman? Tentu saja ada, asalkan suami mau menyesuaikan kriteria idaman itu selaras dengan karakter yang melekat pada diri istrinya.

Tentunya sebelum menikah, dirinya punya daftar panjang kriteria istri idaman. Nah, begitu telah menikah, sebagian kecil dari kriteria itu ada pada diri istrinya dan sebagian besar malah tidak ada. Apakah dia layak menyebut perempuan itu bukanlah istri idaman?

Tentunya tidaklah demikian.

Karena, masih banyak nilai positif, kelebihan hingga keistimewaan istrinya yang belum tercantum dalam daftar yang dibuatnya. Maka, setelah menikah, buatlah kriteria idaman itu selaras dengan karakter yang ada pada istrinya. Maka, dengan tempo sekejap terciptalah istri idaman itu yang berada tepat di depan mata.

Misalnya, dulu sebelum menikah pria itu mendambakan istri idaman tipe perempuan rumahan, yang jago memasak, cekatan merapikan rumah, senantiasa sigap melayani keperluan suami dan setia menjalani hidup sederhana.

Begitu menikah, kriteria idaman itu ambyar seketika! Istrinya bukan tipe rumahan, dia sering keluar dengan berbagai kegiatan (positif tentunya). Maka memaksa istrinya menjadi sosok rumahan hanya akan menimbulkan konflik lahir batin.

Namun, mana ada yang tidak bisa disyukuri pada diri istri. Justru istrinya itu jago dalam mencari uang, saat badai krisis Covid-19 melanda dan usaha suami bangkrut, malah istri yang jadi penyelamat. Berkat hobinya berkegiatan di luar, istri mempunyai banyak kenalan dan sukses memajukan bisnis katering. Malahan istrinya jadi sering di rumah karena bisnisnya berpusat di rumah. Dengan kesuksesan bisnis dia punya uang membayar asisten sehingga rumah tetap rapi dan masakan selalu enak.

Dari contoh ini, ternyata tipe istri idaman itu dapat berkembang, direvisi dan diselaraskan dengan kenyataan. Kriteria istri idaman dapat saja berbeda dari sebelumnya, tetapi istrinya tetap mengesankan.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur