Anak yang di-bully membutuhkan perhatian khusus dari orangtua, agar tidak menjadi depresi/Net
Anak yang di-bully membutuhkan perhatian khusus dari orangtua, agar tidak menjadi depresi/Net
KOMENTAR

VIRAL di media sosial TikTok, seorang ayah menerapkan pola parenting bullyproof pada anaknya. Tampak si ayah berusaha menghadirkan sosok pembuly, yang tak lain adalah dirinya, di hadapan si anak.

Tidak bermaksud menyakiti anak secara fisik, si ayah kemudian melakukan hal seperti menutup pintu ketika anak di mobil, sehingga anak panik dan menggedor pintu. Lalu, membuat anak kaget ketika masuk kamar. Kemudian, mengejek anak saat menangis dengan kata-kata cengeng dan baperan, meski setelahnya berkata bahwa hal itu adalah candaan.

Ya, parenting bullyproof merupakan pola parenting yang dimaksudkan agar anak ‘tahan banting’ terhadap bullying. Orangtua akan menjadi figur pembully di kehidupan anak, dengan maksud demikian.

Seberapa efektif bullyproof?

Seorang psikiater RS Siloam Hospital Bogor, dr Jiemi Ardian, SpKJ memberi tanggapan atas video viral tersebut. Dalam kanal YouTube-nya yang berjudul “Not Bully Proof”, Jiemi menjelaskan kerja otak anak dan otak dewasa berbeda.

Otak anak belajar secara bertahap, dari lapisan paling primitif. Lapisan itu dijelaskan dalam dua bagian, yaitu:

1. Lapisan otak reptil

Lapisan di mana anak mempelajarai tentang rasa aman, mengamati ancaman, dan tempat memunculkan suatu reaksi. Di sini juga anak belajar bertahan/survival. Jika anak merasa tidaka man, mereka akan melakukan suatu hal yang impulsif dan tidak terprediksi. Misalnya, menghindar mengerjakan PR.

Mengingat bahwa anak tidak memiliki daya kekuatan maupun daya pikir seperti orangtua, mereka akan sepenuhnya bergantung pada orangtua.

Jadi, jika apa yang mereka pelajari dari orangtua adalah rasa tidak aman, mereka akan kehilangan banyak hal seperti kemampuan belajar, kemampuan eksplorasi, dan kemampuan berinteraksi secara natural. Karena anak menganggap dunia tidak aman, menurutnya akan sia-sia mempelajari itu semua.

2. Lapisan otak mamalia

Pada lapisan ini, anak akan belajar mengenai respon sebuah perasaan. Di sini, orangtua berperan untuk memberi nama dan mengindentifikasi sebuah perasaan yang sulit, dan memvalidasinya. Karena, pada tahapan ini anak belum mengetahui perasaan marah bernama ‘marah’.

“Terkait video yang viral itu, manusia memang memiliki cognitive humor processing yang akan diproses secara kognitif (pikiran) dan afektif (perasaan). Masalahnya, pikiran anak belum berkembang sepenuhnya, meskipun perasaan anak sudah. Jadi, perlu sekali mengajari batas-batas wajar dalam candaan, namun jangan sampai menginvalidasi perasaan anak,” ujar Jiemi.

Sejatinya, lanjut dia, orangtua tidak bisa membantuk anak yang tahan bully, karena memang tidak pernah ada yang demikian.

Memang, aka nada anak yang tahan banting, bisa menahan bully-an lebih lama. Tapi, tidak ada yang benar-benar tahan sepenuhnya terhadap bully. Di sini, pada akhirnya anak akan mengembangkan sebuah attachment atau kelekatan dalam melihat dunia dengan orang lain, yaitu secure dan insecure.

Jadi intinya, tidak cukup dengan bullyproof karena perkembangan otak anak belum sempurna. Justru anak akan menyontoh apa yang dilakukan orangtua, dan bisa jadi ia akan mewarisi bully-an itu.

Yang baiknya dilakukan adalah pendekatan personal antara orangtua dan anak. Di sini, orangtua dituntut untuk peka dan paham betul situasi anak yang sedang menderita karena bullying.




Seringkali Diabaikan dan Tidak Dianggap, Waspadai Dampak Depresi pada Anak Laki-Laki

Sebelumnya

Anak Remaja Mulai Menjauhi Orang Tua, Kenali dan Pahami Dulu Alasannya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting