KOMENTAR

HASIL laut segar yang menggugah selera menjadi salah satu kekayaan khas wilayah Indonesia timur. Tak hanya menjadi makanan favorit masyarakat di sana, para wisatawan domestik maupun mancanegara juga sangat menyukai wisata kuliner seafood yang sungguh lezat.

Hasil laut menjadi segar dikarenakan ikan dan biota lain hidup dalam ekosistem laut yang baik. Terumbu karangnya masih bagus, mangrove dan padang lamunnya pun dalam kondisi baik. 

La Ode, alumni Masterchef Indonesia musim 8, sering mendapatkan seafood segar dari nelayan. Di waktu subuh ia kerap mendatangi pantai ketika nelayan baru selesai melaut. Suatu kali ia pernah melihat ikan tuna sebesar paha orang dewasa dan langsung tawar-menawar.

Sayang, kini ekosistem perairan Indonesia Timur mulai terancam. “Masyarakat yang tinggal di pesisir bercerita, beberapa jenis ikan mulai sulit ditemukan, misalnya, napoleon. Ukuran tuna dan tenggiri semakin kecil, wilayah tangkapnya pun semakin jauh,” kata Mida Saragih, Ocean Program Manager dari Yayasan EcoNusa.

Ia menambahkan, hal ini merupakan akibat dari eksploitasi berlebihan. Karena terlalu banyak ditangkap, proses regenerasi ikan terganggu. Apalagi, jika nelayan menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti bom, cantrang atau pukat, yang tidak bisa menangkap ikan secara selektif. 

Bumbu minimal, rasa maksimal

Siapa yang bisa menolak seafood bakar menggiurkan yang beberapa jam sebelumnya baru ditangkap oleh nelayan? Tanpa perlu bermacam bumbu atau rempah, seafood dari timur Indonesia dikenal punya cita rasa daging yang manis. 

“Kalau Anda beruntung menemukan seafood segar di pasar, tak perlu repot-repot sediakan bumbu. Langsung bakar begitu saja, tanpa taburan atau olesan bumbu apa pun. Anda akan bisa merasakan kesegaran ikan, rasa manis dagingnya, sekaligus rasa asin air laut. Sedap!” kata La Ode.

Mida mengamati, ada perbedaan cara mengolah seafood di Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Di Timur, ketika seafood baru ditangkap, dalam keadaan masih segar seafood langsung diolah, sehingga cita rasanya masih alami dan otentik. “Bumbu yang digunakan masyarakat Indonesia Timur juga tak sebanyak di Indonesia Barat yang terbilang kompleks. Misalnya, dibuat kuah kuning, hanya diberi kemangi, ketumbar, lengkuas, kunyit, dan serai,” katanya. 

Bahkan, saking simpelnya, La Ode bercerita, beberapa daerah punya hidangan ikan laut yang tidak memerlukan pemanasan dengan cara apa pun. “Ikan diiris-iris lalu diberi asam dari jeruk nipis. Setiap daerah punya nama hidangan masing-masing. Di Maluku namanya gohu. Ikan laut jenis apa pun hanya perlu dibubuhi perasan jeruk nipis, lalu ditambahkan kenari dan kemangi. Di Sulawesi Selatan namanya pacco.” 

Ekosistem bagus, nelayan sejahtera

Usai menangkap seafood, para nelayan biasanya menjual hasil tangkapan ke pasar lokal saja. Sebab, rata-rata merupakan nelayan kecil yang tak punya akses ke pasar lebih besar. Tapi, nelayan di perairan Indonesia Timur bisa juga merupakan nelayan dari kawasan Barat.

“Keanekaragaman ikan di perairan timur adalah yang tertinggi di Indonesia, karena terumbu karangnya masih bagus. Kelestariannya masih terjaga, sehingga biodiversitasnya lebih bagus daripada perairan Barat,” kata Mida.  

Karena itu pula, banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan berprofesi sebagai nelayan full time. Wilayah tangkapnya pun cukup jauh. Misalnya, wilayah tangkap para nelayan dari Maluku Utara bisa menjangkau 12 – 35 mil dan mereka melakukan one day fishing.  

Dengan pekerjaan sebagai nelayan mereka bisa hidup sejahtera, karena di kawasan Timur masih banyak terdapat ikan. Namun, Mida menjelaskan, hal itu hanya bisa terjadi, jika ekosistem lautnya bagus. Seandainya terkena bom, atau pasir lautnya diambil, atau terkena endapan tambang, ekosistem pasti rusak. Nelayan tidak bisa mendapatkan hasil tangkapan seperti biasa.

“Pilihannya, mereka melaut ke kawasan yang jauh. Misalnya, nelayan Sulawesi melaut ke Maluku. Atau, mereka alih profesi, yang sebenarnya tidak mudah. Saya melihat sendiri keruntuhan ekonomi nelayan sebagai akibat dari ekosistem laut yang rusak. Di suatu daerah di Sulawesi Selatan ada banyak perusahaan tambang yang kini tak lagi beroperasi. Tapi, endapan tambang sudah merusak laut. Nelayan beralih profesi, misalnya bantu transportasi antar pulau atau ojek. Hingga kini ekonomi mereka belum pulih,” kata Mida. 

Kearifan lokal jaga stok seafood

Untuk menjaga ketersediaan seafood di alam, sejumlah kelompok Masyarakat Adat  menerapkan aturan adat, yang kemudian sejalan dengan aturan negara. Contohnya, di Maluku ada praktik sasi, yaitu larangan menangkap hasil laut dalam kurun waktu tertentu.

Nelayan hanya boleh menangkap hasil laut saat larangan tersebut ditarik. Sementara di Sorong, Papua Barat, sistem itu disebut dengan egek

“Prinsipnya, setelah masa panen, hasil laut yang masih berada di laut dibiarkan tumbuh dan berkembang dahulu selama beberapa tahun, sebelum waktu panen berikutnya. Saat panen, masyarakat akan menjual hasil laut sesuai kesepakatan bersama. Ketika melakukan tutup egek, mereka mengawasi alat tangkap yang boleh digunakan. Potasium sianida, yang merupakan bius tradisional, dilarang digunakan di wilayah tangkap mereka,” kata Mida. 

Yang menarik, Suku Moi yang tinggal di Sorong pernah menutup egek selama 6 tahun! Mereka baru membuka egek pada pertengahan tahun ini. Hasil laut yang dilarang untuk dipanen adalah lola, lobster, dan teripang. 

Durasi penutupan egek ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan kebutuhan. Egek akan dibuka sesuai kesepakatan bersama saat ada kebutuhan ekonomi dalam masyarakat, seperti renovasi gereja. 

Hasil laut langka, kita ubah perilaku




Bali Tawarkan Pariwisata Baru Kolaborasi Seni, Budaya, dan Inovasi

Sebelumnya

Festival Balon Udara 2024 di Wonosobo, Suguhkan Langit Cappadocia Khas Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Horizon