Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

“LIDAH ini yang saya belum bisa menjaganya.”

Terpujilah gadis manis itu yang secara terbuka mengakui kelemahan dirinya. Terpuji pula dirinya yang mulai muncul kesadaran untuk memperbaiki sepak terjang lisannya, yang selama ini cukup banyak terpakai untuk keburukan.

Gadis itu menyadari karir impiannya banyak berhubungan dengan publik, yang jika ketajaman lidah diperbaiki hanya akan membuat banyak orang terluka lalu menjauh darinya.

Bagus-bagus saja sih jika dirinya ingin memperbaiki kinerja lidah atas pertimbangan karir atau nasibnya di dunia. Namun, dalam visi agama Islam, lidah itu pengaruhnya teramat besar bagi keselamatan dunia dan juga akhirat. Apabila kita menata lisan atas pertimbangan agar nasib di dunia, itu memang sesuatu yang baik. Namun, jika atas alasan dunia akhirat maka itu jelas kemenangan yang teramat gilang-gemilang.

Raghib As-Sirjani pada buku 354 Sunnah Nabi Sehari-hari (2019: 395) menerangkan, salah satu akhlak yang baik itu adalah menjaga lisan; diriwayatkan dari Abdullah bin Amru berkata, “Rasulullah adalah pribadi yang jauh dari perbuatan dan perkataan keji, beliau pun bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari)

Perbuatan keji sering timbul dari lisan dan Rasulullah telah menjelaskan bahwa sebaik-baik akhlak adalah berusaha membersihkan ucapan dari yang tidak baik, bahkan beliau menjadikan lisan sebagai penyingkap; apakah seseorang termasuk penghuni surga atau neraka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ada seseorang berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, si fulanah adalah orang yang rajin shalat malam, rajin berpuasa pada siang hari, rajin beramal, dan rajin bersedekah; namun ia sering menyakiti tetangganya (bagaimana ini)?”

Rasulullah menjawab, “Tidak ada kebaikan padanya, ia termasuk penduduk neraka.”

Mereka berkata lagi, “Ada fulanah lain yang shalatnya hanya wajib dan sedekahnya juga sesekali saja, namun tidak menyakiti seorang pun?”

Rasulullah menjawab, “Ia termasuk penduduk surga.” (Al-Hakim)

Begitulah dahsyatnya lidah yang dapat memengaruhi nasib seorang hamba masuk surga dengan sentosa atau malah terjungkal ke neraka dengan terhina. Amalan-amalan baik malah bisa binasa disebabkan oleh keburukan lidah.

Dari itulah, bila kita hendak meraih akhlak terpuji, maka bersihkanlah lidah dari hal-hal yang mengotorinya.

Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub dalam Ringkasan Kitab Adab (2019: 148) menguraikan, di antara yang harus dijaga oleh seorang muslim adalah menjaga lisannya dengan penuh perhatian. Dia harus menjauhkan lisannya dari perkataan yang batil, dusta, gibah, namimah, dan segala perkataan yang kotor.

Dia harus menjaga lisannya dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Seseorang kadang mengucapkan sesuatu yang dapat membinasakan dunia dan akhiratnya.

Jangankan perkataan kotor, sedangkan perkataan yang sia-sia saja hendaknya dijauhi sebab akan menjadi sesuatu yang menjatuhkan martabat kemanusiaan kita. Hal-hal yang terpancar dari lidah dan dapat membinasakan nasib kita di antaranya ialah dusta, gibah dan namimah.   

Lidah itu sih netral-netral saja, akan tetapi cara pemakaiannya yang perlu dibenarkan, dijaga dan diarahkan. Bahkan, lidah pula yang memberikan dampak positif bagi kehidupan dunia akhirat.

Demi menerangkan keunggulan lisan yang baik, maka diungkapkan dengan manis oleh Imam Al-Ghazali pada kitab Ihya Ulumuddin 5 (2018: 3): Segala puji hanya bagi Allah Swt. yang telah membaguskan penciptaan manusia dan meluruskannya. Kemudian Dia membantunya dengan lidah yang dipakai untuk menerjemahkan apa yang dikandung oleh kalbu dan akalnya.

Dia memfasihkan perkataan manusia dengan kebenaran, dan memfasihkan lisannya dengan kesyukuran dari apa yang diutamakan. Dia menganugerahkan kepadanya ilmu yang dihasilkannya dan tutur kata yang memudahkannya.

Kutipan ini menerangkan peran sentral lidah sebagai penerjemah dan menyampai apa yang terbersit di hati dan apa yang terlintas di pikiran. Lisan yang rajin memproduksi perkataan yang baik merupakan gambaran dari kondisi hati dan juga pikiran seseorang.

Artinya, lisan tidaklah berdiri sendiri, baik buruk kinerjanya punya hubungan erat dengan akal budi. Jadi tidak melulu lidah itu melahirkan keburukan, malahan lisan yang baik dapat menyelamat dunia akhirat.

Dengan demikian, terbukalah kesepatan meraih nasib yang terbaik, karena lisan yang terberkati akan menuntun ke surga-Nya.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur