Pasukan Ukraina yang terus bersiaga menghadapi gempuran Rusia/ Foto: Reuters
Pasukan Ukraina yang terus bersiaga menghadapi gempuran Rusia/ Foto: Reuters
KOMENTAR

LAGI hangat-hangatnya kecamuk perang nun jauh di benua biru Eropa, malah tak kalah hangat dampaknya di Indonesia. Karena sampai-sampai pihak Kedutaan Besar Republik Ukraina di Jakarta menyerukan ketegasan sikap Indonesia, bahkan disebut-sebut pula perjuangan merdeka atau mati.

Merdeka atau mati, lho!

Seruan pihak Ukraina ini tentu teramat psikologis, sebab merdeka atau mati adalah semboyan para pejuang Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kok tiba-tiba saja Kedubes Ukraina jadi genit menggunakan semboyan milik leluhur kita?

Ya, apalagi maksudnya kalau bukan demi meraih simpati, dengan target mendapatkan dukungan maksimal serta keberpihakan yang total pada Ukraina.

Hanya saja, rakyat Indonesia itu cukup cerdik membaca keadaan dan tidak mau gegabah apalagi emosional dalam menentukan sikap. Perang Rusia-Ukraina sarat konflik kepentingan, dan ketegasan sejatinya telah ditunjukkan Indonesia.

Sikap tegas bangsa Indonesia sudah teramat jelas, bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Itulah ketegasan sikap yang tidak dapat diganggu-gugat lagi, mengingat telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Final!

Namun, banyak pula mencuat pertanyaan kritis, di antaranya, “Mengapa untuk perang di Ukraina sikap Indonesia tidak galak?”

Sikap di tengah-tengah yang berupaya adil dalam melihat dan menimbang ini sudah menjadi gaya khas Indonesia. Sikap wustha (pertengahan) ini juga memiliki rujukan kuat, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an.   

Surat Al-Baqarah ayat 143, yang artinya, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) wustha (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

M. Dawam Rahardjo dalam buku Merayakan Kemajemukan Kebebasan Dan Kebangsaan (2010: 315-316) menerangkan, istilah wustha, adalah bentuk komparatif yang artinya di tengah-tengah atau utama, karena wustha itu kadang-kadang menunjukkan tingkat. Wustha di samping berarti di tengah-tengah, juga berarti utama atau yang terbaik.

Umat pertengahan itu, yaitu umat yang cenderung melakukan moderasi, berdasarkan keadilan atau kesetaraan atau keseimbangan, akan menjadi umat yang unggul. Keseimbangan itu diperlihatkan juga pada keseimbangan untuk melakukan yang baik (ma'ruf) dan mencegah yang buruk (munkar).

Saripati ayat ini diharapkan terus mendarah-daging dalam nadi rakyat Indonesia, sehingga tetap netral dalam memandang apapun perkara yang melanda dunia, yang memelihara kebijaksanaan dalam mencari penyelesaian konflik.

Dari itu pula, dahulu kala Indonesia ikut menggagas Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM). Ketika Blok Barat yang dikomandani Amerika Serikat dan Blok Timur yang dikomandani Uni Soviet berlomba-lomba menggelar senjata pemusnah massal, memprovokasi berbagai perang dan terus memanaskan hubungan dunia, maka Indonesia tampil untuk tidak berpihak kepada blok manapun.

Indonesia bersama sekitar 100 negara lainnya memilih ke kutub militer manapun, tetapi berani memilih sikap wustha (pertengahan). Indonesia menjadi pelopor Gerakan Non Blok semata-mata demi berpihak kepada perdamaian dunia. Gerakan ini telah mewakili akal sehat rakyat Indonesia, yang menginginkan kekerasan bersenjata harus dihentikan.

Berbagai pihak sempat bertanya-tanya, apakah Gerakan Non Blok masih relevan saat ini?

Perang di Eropa saat ini telah menjawabnya. Bahwa gerakan yang dipelopori proklamator Republik Indonesia, Presiden Soekarno masih dibutuhkan bagi perdamaian dunia. Dan ajaibnya, rakyat Indonesia masih memelihara semangat itu dengan tidak berpihak kecuali pada perdamaian dunia.

Baik itu Ukraina maupun Rusia sama-sama negara yang menjadi sahabat baik Indonesia. Ketika dua sahabat berseteru, apakah kita serta merta berpihak kepada yang menyerukan merdeka atau mati?

Ajakan dari salah satu pihak saja tidak akan dikabulkan oleh pihak Indonesia, karena hanya membuat perang makin berlarut-larut. Keberpihakan macam itu hanya akan menimbulkan malapetaka yang lebih besar.

Lantas kepada siapakah Indonesia berpihak? Ya, tentunya sesuai dengan amanat UUD 1945, Indonesia berpihak hanya kepada perdamaian dunia. Itu saja!

Lebih menarik lagi mengulik sikap rakyat Indonesia. Di mana secara umum masyarakat Indonesia menolak perang di benua Eropa itu, apapun bentuknya perang bukanlah solusi. Uniknya, meski anti dengan perang, sikap rakyat Indonesia tetap setia berada di tengah-tengah, menjadi gerakan penengah.

Dalam keterbukaan informasi, dan terlatihnya rakyat Indonesia berpikir kritis, maka jangan heran jika mereka punya pandangan tersendiri terhadap kecamuk perang di benua biru.

Kita dapat melihat perang ini tidak akan meletus andai tidak ada pihak yang memprovokasi. Dan kita tidak dapat menutup mata dari akar persoalannya, ketika Amerika Serikat dan NATO yang hendak merangkul Ukraina menjadi anggota pakta militernya.

Memang perang yang berlangsung saat ini sudah teramat memalukan, tetapi ketika Ukraina resmi jadi anggota NATO, perang yang akan meletus dijamin lebih dahsyat lagi, mengingat seluruh anggota NATO berkewajiban membela anggotanya yang lagi berperang.




Menjadi Korban Cinta yang Salah

Sebelumnya

Ana Khairun Minhu

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur