Hyper parenting diartikan sebagai pola pengasuhan yang melibatkan kontrol berlebihan orangtua demi menciptakan anak terbaik dalam segala bidang/ Net
Hyper parenting diartikan sebagai pola pengasuhan yang melibatkan kontrol berlebihan orangtua demi menciptakan anak terbaik dalam segala bidang/ Net
KOMENTAR

DEPRESI menurut definisi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah gangguan mental umum yang ditandai suasana hati yang tertekan, kehilangan kesenangan atau minat, merasa kurang berenergi, memiliki perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan makan atau tidur, atau konsentrasi yang rendah.

Data Worldh Health Organization (WHO) pada 2017 menunjukkan ada lebih dari 332 juta orang di seluruh dunia menderita depresi. Bayangkan berapa banyak pertambahan kasus gangguan mental ini yang diakibatkan pandemi Covid-19.

Dampak ekonomi dan social distancing menciptakan ketidaknyamanan yang memicu depresi. Demikian juga untuk dalam urusan pendidikan, pandemi tak pelak melahirkan depresi baru bagi anak dan orangtua.

Dengan begitu banyak tantangan yang dihadapi, kita sebagai orangtua zaman now sering berpikir betapa mudahnya menjadi orangtua di zaman dulu. Yang menjadi perhatian utama orangtua zaman dulu adalah bagaimana anak mereka bisa makan, badan sehat, berpakaian layak, dan duduk manis di sekolah.

Cara mendidik anak biasanya diwariskan turun-temurun dari kakek nenek dan generasi sebelumnya. Bagaimana menjaga tubuh anak tetap anak, bagaimana menambah nafsu makan anak, juga bagaimana mengajarkan anak sopan santun, biasanya meniru apa yang dilakukan nenek moyang kita.

Saat ini, seiring bertambah pesatnya pengetahuan dan teknologi, ada banyak sekali informasi seputar dunia parenting yang bisa kita baca, baik dari buku maupun internet. Di masa pandemi ini, kita juga bisa mendengarkan podcast atau IG live dunia parenting yang menghadirkan para psikolog.

Di satu sisi, lautan informasi yang ada di internet maupun toko buku memang menyediakan jawaban atas semua permasalahan kita dalam mengasuh anak. Tapi di sisi lain, amat sangat sulit memilah dan memilih solusi terbaik dari sejuta opsi yang ditawarkan para psikolog dan ahli pendidikan tersebut. Kondisi ini juga melahirkan kebingungan dan bukan tidak mungkin menimbulkan depresi bagi para ibu.

Disadari atau tidak, parenting zaman now identik dengan ‘kompetisi’. Tanpa disadari, setiap ibu berusaha menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dalam mendidik buah hatinya. Terlebih lagi di era media sosial. Kalimat “i’am a proud mom” menjadi caption andalan yang menceritakan kepintaran, kecerdasan, kelucuan, dan prestasi si kecil.

Bukan hanya si kecil, para ibu pun berlomba dalam ‘kompetisi’ yang tercipta tanpa mereka sadari. Siapa yang paling jago masak? Siapa yang paling modern? Siapa yang paling kreatif? Siapa yang paling modis? Siapa yang paling terampil mengajari anak di rumah? Saking banyaknya hal yang ingin dibanding-bandingkan, parenting seolah menjelma menjadi ring tinju yang diwarnai persaingan sengit antarpetinju yang berlaga.

Tak heran jika kemudian banyak orang memilih untuk tidak punya anak. Mereka menganggap tidak mampu mendidik anak di era yang sudah sangat modern ini. Begitu banyak tantangan yang sangat sulit ditaklukkan. Tidak hanya soal parenting, tapi juga berkaitan erat dengan besarnya finansial yang dibutuhkan untuk memberikan rumah, kesehatan, dan pendidikan terbaik bagi anak.

Namun demikian, fitrah manusia hakikatnya tetap menginginkan memiliki buah hati. Anak menjadi sumber kebahagiaan. Anak menjadi jalan bagi orangtuanya untuk bertanggung jawab, berdisiplin, dan bekerja keras untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi keluarga. Terlebih bagi seorang Muslim, anak adalah amanah yang dapat membuka jalan orangtuanya ke surga.

Hyper Parenting

Istilah hyper parenting muncul menjadi tren selama beberapa tahun terakhir. Secara sederhana, hyper parenting diartikan sebagai pola pengasuhan yang melibatkan kontrol berlebihan orangtua demi menciptakan anak terbaik dalam segala bidang.
 
Di Amerika Serikat dan Jepang misalnya, anak sudah didaftarkan ke TK bergengsi nan mahal meskipun anak tersebut belum lahir. Begitu juga dengan universitas. Sejak SD hingga SMA, anak dipush agar belajar sekeras-kerasnya demi mendapat bangku di universitas Ivy League. Tidak ada kata gagal.

Maka orangtua menjalankan hyper parenting dengan dalih demi kesuksesan anak di masa depan. Tanpa disadari, hyper parenting justru mendekatkan ibu dan anak kepada depresi karena tak ada kesenangan, kenyamanan, ketulusan, dan keintiman hati dalam parenting.

Dunia parenting seharusnya menjadi sesuatu yang membahagiakan, tidak semata membanggakan. Ada hal-hal mulia di luar prestasi akademik yang membentuk karakter anak, dan itu lebih dibutuhkan dari sekadar nilai sempurna di kelas.

Dengan hyper parenting, anak justru tumbuh menjadi individu yang memiliki kepercayaan diri rendah, mudah menyerah, mudah cemas, takut dengan dunia luar, tidak independen, menjadi kaku dalam bersosialisasi, mudah dirundung, bahkan secara fisik mudah alergi dan sakit.

Mereka tidak diperkenankan untuk bebas bersosialisasi dengan teman-teman sebaya, tidak diizinkan melakukan aktivitas luar ruangan, bahkan anak juga kehilangan haknya untuk berolah raga. Bagaimana pun juga, anak membutuhkan aktivitas fisik agar tubuhnya sehat, segar, dan tumbuh baik.

Lain anak, lain pula ibu. Ini saatnya ibu menghindari atau menghentikan hyper parenting agar hidup menjadi lebih indah dan berharga untuk dijalani.

Ada tiga hal yang harus kita ingat agar tidak terjebak dalam hyper parenting.

Ingatlah selalu bahwa parenting adalah peran yang kita jalankan, bukan sebuah kompetisi yang kita ikuti. Tidak perlu membuktikan diri kepada siapa pun bahwa i’am the best mom. Yang perlu kita lakukan adalah menjaga baik-baik amanah Allah dengan mengajarkannya ilmu agama dan akhlak mulia, termasuk menanamkan karakter unggul yaitu kemandirian, kejujuran, dan ketangguhan mental.

Kemudian barulah kita menuntun anak ‘melihat’ dunia dengan memberikannya pengetahuan dan informasi tentang berbagai bidang—sesuai dengan umurnya. Buatlah anak tertarik dan tertantang untuk membuat hal-hal positif dalam hidupnya.

Dengan demikian, akan tercipta bonding yang sangat kuat antara ibu dan si buah hati. Ibu dan anak terlibat aktif dalam parenting. Saling berdiskusi, saling berbagi pikiran, bahkan sesekali beradu argumen. Meski demikian, ibu dan anak sama-sama mematuhi peraturan dan family values yang ada hingga pada akhirnya bisa mencari win win solution yang membahagiakan kedua pihak.

Ingatlah untuk tidak membiarkan keraguan, rasa bersalah dan kekhawatiran menggerus kebahagiaan kita mengasuh si buah hati. Jangan sampai setiap hari kita mempertanyakan “sudah benarkah langkah yang saya ambil?” mulai dari urusan memilih makanan hingga hobi yang ditekuni anak. Biarkan anak berekspresi demi menemukan passionnya.

Terlihat perbedaan besar antara kompetisi yang diterapkan dalam hyper parenting dengan memotivasi anak untuk menemukan potensi terbaiknya. Yang kedua jauh lebih bermanfaat untuk membangun kualitas diri anak. Sementara yang pertama justru mengecilkan kemampuan anak untuk berkembang mandiri.




Seringkali Diabaikan dan Tidak Dianggap, Waspadai Dampak Depresi pada Anak Laki-Laki

Sebelumnya

Anak Remaja Mulai Menjauhi Orang Tua, Kenali dan Pahami Dulu Alasannya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting