Madleen Kulab asal Palestina. (Al Jazeera)
Madleen Kulab asal Palestina. (Al Jazeera)
KOMENTAR

MADLEEN Kulab, perempuan nelayan di Gaza, menyaksikan dengan harap cemas kapal bantuan Madleen—yang dinamai dari namanya sendiri—berlayar menuju tanah kelahirannya. Kapal itu membawa misi kemanusiaan, menantang blokade Israel demi menyalurkan bantuan simbolis bagi warga Gaza yang kelaparan dan terkepung. Bagi Madleen, kapal itu adalah perwujudan dari mimpi banyak warga Gaza yang sudah lama dikubur oleh perang dan keterasingan.

Namun pada Senin (9/6) pagi, harapannya direnggut secara tiba-tiba. Madleen terbangun dengan kabar bahwa kapal Madleen telah dicegat oleh militer Israel di perairan internasional, dan seluruh 12 penumpangnya ditahan—termasuk aktivis iklim dunia, Greta Thunberg.

“Saya sangat patah hati,” katanya kepada Al Jazeera. “Saya tahu risikonya, tapi saya tetap berharap kapal itu bisa sampai, walau hanya membawa secercah harapan.”

Malam sebelum penyergapan, Madleen sempat berbicara dengan Rima Hassan, anggota Parlemen Eropa keturunan Palestina yang turut serta dalam pelayaran itu. Rima mengungkapkan bahwa impian terbesarnya adalah bisa menginjakkan kaki di Gaza—Tanah Air yang belum pernah ia lihat.

“Kata-katanya sangat menyentuh. Dedikasinya pada perjuangan Palestina begitu tulus,” ujar Madleen. “Tapi mimpi sesederhana itu pun menjadi mustahil karena Israel.”

Intersepsi terhadap kapal Madleen bukan hanya soal politik atau militer. Bagi Madleen, ini adalah pukulan emosional yang mengingatkannya pada kenyataan getir: bahwa bahkan upaya damai, simbolis, dan penuh kemanusiaan pun dihadang dengan kekerasan dan penindasan. “Ini bukan sekadar kapal. Ini cermin dari penderitaan kolektif kami di Gaza,” katanya.

Sejak 2007, Gaza hidup dalam blokade total—darat, laut, dan udara—yang dijaga ketat oleh Israel. Dan sejak pecahnya perang terbaru pada 7 Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina tewas, sementara ratusan ribu lainnya terluka.

“Kami hidup dalam ketakutan, kelaparan, dan keterisolasian,” tutur Madleen. “Dan dunia hanya memperhatikan kami ketika ada tragedi besar, lalu kembali melupakan.”

Kini, Gaza sedang berada di ambang kelaparan massal. Setelah Israel sempat melonggarkan blokade pada Mei, titik-titik distribusi bantuan justru berubah menjadi medan pembantaian, ketika tentara Israel dan kontraktor keamanan AS melepaskan tembakan ke arah warga yang berebut makanan.

“Kami hanya ingin bertahan hidup,” ujar Madleen, lirih. “Tapi bahkan itu pun terasa seperti dosa di mata dunia.”

Misi kapal Madleen sejatinya sederhana—mengantar bantuan simbolis, dan menyampaikan pesan bahwa Gaza tidak sendiri. Dan meski kapalnya gagal mencapai pantai, Madleen percaya bahwa pesan itu tetap sampai.

“Mereka yang ditahan membawa pesan yang mulia. Pesan bahwa kemanusiaan belum mati,” katanya.

Greta Thunberg telah dideportasi, sementara para aktivis lain masih menjalani proses hukum.

Namun di balik itu semua, Madleen mengakui bahwa rasa putus asa mulai menggerogoti hatinya. “Saya tidak tahu lagi harus memohon kepada siapa. Kami sudah berteriak, menangis, dan berdarah—apa lagi yang harus kami lakukan untuk dunia mendengar?”

Kisah Madleen dan kapal Madleen bukan sekadar episode dalam berita. Ia adalah pengingat bahwa di balik angka korban, ada manusia—ada ibu, anak, nelayan, dan aktivis—yang mencoba hidup di tengah reruntuhan. Bahwa harapan masih menyala, meski dikepung gelap.

Dan bahwa solidaritas bukan hanya soal aksi sesaat, tetapi tentang keberanian untuk tetap peduli, ketika dunia mulai memilih diam.




Kim Hye-kyung: Dari Pianis ke Ibu Negara, Sosok Tangguh di Balik Kemenangan Politik Lee Jae-myung

Sebelumnya

Mutiara Baswedan Lanjutkan Studi S2 ke Harvard dengan Beasiswa LPDP, Ini Program Studi yang Dipilih

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women