Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

IDUL Adha tiba. Satu lagi hari raya yang kita rayakan dalam suasana pandemi Covid-19. Kita diperkenakan untuk melaksanakan salat Ied dan berkurban asalkan tetap berpegang pada protokol kesehatan new normal.

Idul Adha adalah saatnya berkurban. Di masa pandemi, banyak dari kita mungkin merasa sudah banyak berkorban. Bagi yang kehilangan pekerjaan, bagi yang dipangkas gajinya, bagi yang digantung statusnya sebagai karyawan, kondisi tersebut merupakan sebentuk pengorbanan di masa pandemi.

Bagi para pelaku UMKM, pengorbanan yang dijalani sama dahsyatnya. Banyak yang terpaksa terhenti langkahnya. Banyak yang tertatih. Banyak yang mau tak mau mengurangi karyawan dan mengetatkan biaya produksi demi bisa bertahan. Semua mesti berkorban.

Para pengusaha kelas kakap termasuk brand kelas dunia juga belum bisa bernapas lega. Semakin lama pandemi, semakin panjang durasi WFH, semakin sedikit kebutuhan hidup sekunder dan tersier yang dibeli. Apalagi pusat perbelanjaan sempat ditutup berbulan-bulan. Hingga ketika dibuka kembali, semua berlomba menarik pembeli dengan menggelar diskon gila-gilaan.

Ambillah contoh perempuan berkarir. Setiap bulan dan setiap beberapa bulan biasanya memiliki budget khusus untuk membeli pakaian, hijab, sepatu, parfum, jam tangan, tas, dan makeup juga untuk perawatan wajah dan tubuh di salon. Apakah hal itu masih berlaku selama pandemi?

Rasanya tidak. Kalau pun iya, kuantitas dan frekuensi pembeliannya pasti jauh lebih sedikit. Budget fashion dan kecantikan dialihkan untuk keperluan kesehatan seperti membeli disinfektan, hand sanitizer, masker, face shield, jaket ‘anticorona’, juga berbagai vitamin serta suplemen kesehatan. Adaptasi tersebut juga menjadi sebuah pengorbanan yang dijalani selama pandemi.

Belum lagi iuran listrik dan iuran air yang melonjak hingga menjadi keresahan nasional. Tidak pandang bulu, dari publik figur berkantong tebal hingga warga yang tinggal di rumah petak, semua dibuat gusar dengan kenaikan tagihan yang berlipat-lipat. Sekali lagi, kita merasa ini bagian dari pengorbanan yang kita lakukan selama pandemi.

Namun demikian, sebagai Muslim, ketika kita mampu berbagi di saat susah, insya Allah itu menjadi salah satu kelebihan kita dibanding orang lain. Karena itulah, Idul Adha di saat pandemi bukan lantas membuat kita emoh berkurban. Ketika Allah masih memberikan kita rezeki, mudah-mudahan Allah masih menggerakkan hati kita untuk mau berkurban meski kita merasa sudah lelah berkorban.

Banyak dari kita merasa hari-hari pandemi teramat berat, mulai dari didera kesulitan ekonomi hingga kesulitan menangani anak-anak untuk belajar dari rumah. Kita mengeluh ke sana-sini, bahkan mengumbarnya kepada dunia dengan mengunggah keluh kesah di media sosial. Apakah kita berharap dikasihani, disemangati, atau dipuji karena dianggap kuat?

Bertakbir di hari raya kurban seyogyanya membawa ingatan kita kembali pada sosok Siti Hajar, istri Ibrahim as. Cantik parasnya, cantik akhlaknya. Dialah perempuan mulia nan salihah yang kesabaran, keikhlasan, ketaatan, dan ketakwaannya tak terkira.

Setelah melahirkan Ismail, Ibrahim membawa Siti Hajar dan bayi mereka berjalan jauh menuju Baitul Haram, Mekkah. Dua sejarawan ternama, al Thabari dan Ibnu al Atsir, meriwayatkan bahwa Siti Hajar dan bayi Ismail ditinggalkan Ibrahim di reruntuhan rumah tua yang dipenuhi dahan kayu kering di daerah tandus dan gersang. Tidak ada tumbuhan, tidak ada air.

Siti Hajar berhenti mengejar Ibrahim setelah suaminya berkata bahwa Allah yang memerintahkannya meninggalkan mereka berdua di sana. Itulah cara Allah menjaga Siti Hajar dan Ismail dari kecemburuan Siti Sarah melihat sang madu melahirkan keturunan yang tak bisa ia berikan pada Ibrahim.

Dari jauh, Ibrahim berdoa agar Allah memberi keduanya makanan dan minuman serta meneguhkan hati mereka dalam keimanan, seperti isi ayat ke-37 surah Ibrahim.

Air mata Siti Hajar berlinang meski bukan semata berisi kesedihan. Siti Hajar yakin jika Allah yang memerintahkan Ibrahim, Allah tak akan menyia-nyiakannya dan Ismail.

Maka berlarilah Siti Hajar dari bukit Shafa ke bukit Marwa, bolak-balik hingga tujuh putaran. Tak hanya berusaha mencari air atau makanan, dia juga berharap bertemu orang baik yang bersedia membantunya dan Ismail. Namun tak kunjung ia menemukan sesuatu maupun seseorang. Hingga kelelahan mendera dan ia pun terbaring tak berdaya di samping Ismail. Ia memasrahkan hidup dan matinya hanya kepada Allah.

Ismail, si bayi kecil, terus menangis karena lapar dan dahaga. Air susu sang ibu mulai mengering. Atas izin Allah, dari bawah kaki-kaki mungilnya, keluarlah air. Allah memerintahkan Malaikat Jibril memunculkan mata air yang tak pernah kering dan kelak menjadi sumber kehidupan masyarakat Mekkah. Kini dikenal sebagai mata air Zam Zam.

Siti Hajar, dengan segenap kemuliaannya menjadi cerminan dari kesalihan Ismail, sang putra. Seorang ibu yang pantang mengeluh dan memilih berusaha sekuat tenaga mencari jalan menghidupi diri dan anaknya. Seorang ibu yang menjadikan keimanan dan ketaatan kepada Allah Swt. sebagai pedoman hidup putranya.

Ketika Ismail tumbuh menjadi anak lelaki yang gagah dan sehat, Ibrahim datang dan meminta kesediaan putranya untuk disembelih. Masya Allah, tanpa mendebat sang ayah karena tahu itu adalah perintah Allah, Ismail merelakan dirinya disembelih. Semua semata lillahi ta’ala.

Adakah yang lebih keras dari kehidupan Siti Hajar dan Ismail?

Adakah yang lebih berat dari perjuangan fisik Siti Hajar berlari bolak-balik dari Shafa ke Marwa dan pengorbanan berpisah dari suami tercinta sekaligus ayah dari putranya?

Siapakah kita dibandingkan dengan kesabaran Siti Hajar dan ketaatan Ismail?

Semoga kita selalu menghadirkan syukur dalam keadaan sesempit apa pun. Kerja keras dan doa penuh kepasrahan akan mengantarkan kita pada keridaan Allah. Biarkan pandemi menjadi batu pengasah kesabaran dan ketangguhan kita demi masa depan yang lebih bersinar cerah.

Selamat berkurban, selamat meraih keikhlasan dan keberkahan.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur