KOMENTAR

KALI ini yang berkisah adalah seorang pangeran, yang kakaknya masih menjabat sultan di sebuah kerajaan di Indonesia. Meskipun hidup di peradaban digital, tetapi keluarga besar keraton tetap mempertahankan nilai-nilai luhur budaya kerajaan.

Mereka bertutur kata lembut dengan nada suara yang halus. Begitulah kaum ningrat, sopan-santun amat dipelihara karena berkaitan dengan martabat diri dan keluarga.

Tidak mudah bagi sang pangeran memutuskan untuk menikahi gadis dari pulau lain. Apalagi saat itu istrinya pula menjadi satu-satunya keluarga istana yang berjilbab. Namun cinta membuat dua insan ini tetap tangguh menjalani suka duka perbedaan budaya.
 
Kejutan itu terjadi amat mengagetkan tatkala istri sang pangeran berteriak memanggil anaknya dari kejauhan, “Haiiiiii....!”

Jangankan sanak keluarganya, sang pangeran pun kaget alang kepalang. Pasalnya, mereka tengah berada di lingkungan keraton. Jangankan berteriak, meninggikan suara saja itu tergolong tabu dalam norma istana.
 
Tentu saja, saat bercerita sang pangeran tertawa-tawa. Tetapi nada suara yang tinggi itu merupakan kejutan besar bagi seluruh kerabat keraton. Maklum saja, mereka marah pun tetap dengan nada suara nan lembut.

Sepintas kisah ini bagaikan anekdot saja. Namun, perkara intonasi suara ternyata juga menimbulkan bekas yang cukup serius. Tinggi rendahnya suara, keras lembutnya tutur kata menimbulkan efek yang tiada terduga, yang banyak orang luput mengamatinya.

Lain ceritanya tentang kisah perempuan muda, yang masih di masa-masa bulan madu, tetapi sudah sering meneteskan airmata. Sang istri muda tidak habis pikir mengapa suami suka marah-marah padanya, padahal dia telah berusaha keras menjalani peran sebagai istri yang baik.

Sang suami tidak kalah bingung, airmata jenis apa yang sering mengalir di pipinya itu? Sebagai suami, dia yakin telah berusaha untuk bersikap baik. Ah, mungkin perempuan ini cengeng!

Syukurnya, ada sosok penengah, yaitu ibu. Usut punya usut, ternyata suami yang terbiasa memasang nada tinggi dalam bicara membuat istrinya menderita. Suaminya berbisik saja bagaikan berteriak, apalagi kalau dia sampai berteriak beneran, langit bagaikan runtuh bagi istrinya.

Pada setiap pribadi melekat perbedaan budaya yang terbawa dalam pernikahannya. Dan bayangkan, betapa beratnya proses penyesuaian itu yang harus dikejar dalam waktu singkat. Sang istri belum benar-benar memahami dinamika rumah tangga, harus bersegera pula mengenali nada-nada suara tinggi yang mengguncang jiwanya.

Apa hubungan nada suara dengan emosi jiwa?

Suwardi Tanu pada buku How to Create A Superbaby menerangkan, ketika kita tidur, getaran otak berada pada vibrasi yang rendah, semua saraf sedang rileks. Namun, tiba-tiba otak kita dikejutkan oleh suara-suara yang bernada keras. Saraf menjadi tegang, otot menjadi tegang, pikiran tidak tenang. Kita mendadak siaga dengan keinginan untuk segera mengetahui kejadian yang sedang berlangsung.

Buku ini menerangkan umumnya kita menduga ada suatu hal buruk yang sedang berlangsung dan mungkin berasumsi bakal merugikan kita. Rasa tenang dan rileks saat bangun tidur berubah drastis menjadi rasa khawatir dan cemas. Tidak tertutup kemungkinan, sepanjang hari itu kita menjadi senewen, kesal.

Dari penjelasan di atas, kita hendaknya dapat memahami terguncangnya jiwa istri efek dari nada tinggi suara suaminya. Lagi pula ada argumentasi ilmiah kok!
Para ilmuwan punya analisa tersendiri mengenai risiko suara tinggi. Namun, dalam Islam lebih berat lagi akibatnya. Karena gara-gara bersuara keras itu pahala amalan akan terhapus.

Hal ini diterangkan Q. S. al-Hujurat ayat 2, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.”

Ada tiga hal penting dari ayat ini: pertama, jangan meninggikan suara melebihi suara Nabi. Padahal, suara beliau itu amat lembut lho! Kedua, larangan bersuara keras. Ketiga, kerugian yang tiada disadari adalah hilangnya pahala amalan baik.

Bagaimana dengan orang yang terlanjur bersuara dengan keras atau berintonasi tinggi? Sebetulnya ada kisah menarik terkait ayat di atas, yang diceritakan dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, yaitu:

Sabit ibnu Qais duduk menangis di pinggir jalan. Asim ibnu Addi dari Bani Ajlan bertanya, “Mengapa kamu menangis?”

Dia menjawab, “Ayat ini telah membuat diriku takut. Karena ia diturunkan berhubungan dengan diriku. Sebab diriku merupakan orang yang tinggi suaranya.”

Dalam tangisan yang makin kencang, Sabit pulang menemui istrinya, Jamilah binti Abdullah. Dia berpesan, “Bila aku masuk kamarku, maka gemboklah pintunya dari luar dengan paku.”
Kemudian dengan patuh istrinya melaksanakan apa yang disuruh oleh suaminya itu. Lalu Sabit berkata, “Aku tak akan keluar kamar hingga Allah mewafatkan diriku, atau Rasulullah meridaiku.”

Asim mengadukan masalah ini kepada Rasulullah. Beliau berkata, “Pergilah kepadanya dan ajaklah dirinya untuk datang kepadaku.”

Asim mendatangi rumah Sabit, dan mendapati dirinya mengunci diri di dalam kamar. Asim menyampaikan perintah agar menemui Rasulullah. Maka Sabit berseru, “Patahkan saja kuncinya.”

Setelah sampai di hadapan Rasulullah, beliau bertanya, “Apakah yang membuat dirimu menangis”

Sabit menjawab, “Aku orang yang tinggi suaranya. Aku merasa khawatir jika ayat ini diturunkan berkenaan dengan diriku.”

Nabi Muhammad bersabda, “Tidakkah kamu puas, jika kamu hidup dalam keadaan terpuji, gugur sebagai syuhada, dan masuk ke dalam surga?”




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur