KOMENTAR

HARI Kemenangan yang sungguh berbeda.

Ini bukan hanya tentang social distancing yang meniadakan berkumpulnya keluarga besar melainkan juga kepergian orang tersayang akibat Covid-19 yang membuat kita merasa hampa di hari raya.

Idul Fitri adalah hari umat Muslim seluruh dunia bersuka cita karena berhasil menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Di Indonesia, masyarakat menggelar silaturahim ‘akbar’ di hari lebaran. Keluarga besar berkumpul di satu tempat untuk saling bertukar kabar dan berbagi cerita. Banyak yang menuntaskan rasa kangen. Lama tak bersua karena terjebak kesibukan profesional yang menyita waktu. Silaturahim itu bahkan lintas agama. Anggota keluarga yang kebetulan menganut keyakinan berbeda pun hanyut dalam kemeriahan Idul Fitri.

Namun, hari kemenangan tahun ini berbeda. Penyebabnya apalagi jika bukan Covid-19.

Pandemi Covid-19 tidak memberi ruang pada kita untuk menggelar silaturahim besar-besaran. Idul Fitri tahun ini menjadi sejarah tersendiri dalam hidup seorang Muslim. Untuk pertama kalinya umat Islam tidak bisa pergi ke lapangan dekat rumah untuk menunaikan salat Ied berjamaah. Juga, untuk pertama kalinya bagi banyak kepala keluarga menjadi imam salat Ied di rumah.

Jejak silaturahim virtual terekam nyata di hari raya. Kumpul-kumpul menggunakan zoom kini menjadi cara baru untuk kita tetap menyambung silaturahim di tengah pandemi. Seperti kata Prof. Quraish Shihab, silaturahim bukanlah sekadar berkumpulnya raga, melainkan jiwa dan doa yang menyertainya. Raga boleh saja tak bersentuhan, tapi spirit silaturahim harus tetap saling terhubung.

Covid-19 bukan hanya mengubah cara kita merayakan hari kemenangan. Covid-19 juga mengubah dengan siapa kita merayakan hari kemenangan. Karena di hari raya tahun ini, ada ribuan orang kehilangan anggota keluarga mereka. Entah itu ayah, ibu, kakak, adik, sepupu, paman, bibi atau keponakan yang tidak mampu bertahan dari infeksi virus corona hingga ajal menjemput mereka.

Duka bagi kita yang ditinggalkan orang tercinta seolah menjadi puncak dari ujian demi ujian yang menghampiri selama pandemi. Tidak hanya masalah penyebaran corona yang membahayakan tapi juga efek krisis ekonomi dan efek krisis kesehatan mental yang menyertainya akibat kebijakan lockdown. Maka sungguh teramat berat jika kita akhirnya kehilangan orang tercinta di masa ini.

Namun duka tak boleh kita kita biarkan bergelayut terlalu lama di hati kita.

Allah berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 155 dan 156.

“Dan sungguh Kami akan mengujimu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan dalam hal harta, jiwa, dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira terhadap orang-orang yang bersabar.”

“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kami kembali (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).”

Banyak dari kita mungkin mengira bahwa kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un adalah ucapan belasungkawa. Yang kira-kira jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “turut berduka cita”. Padahal, maknanya jauh lebih dalam.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un bukan hanya diucapkan oleh orang-orang yang bertakziah ke rumah almarhum melainkan juga diucapkan oleh kita—yang ditimpa musibah. Kalimat ini mengandung makna kepasrahan dan keikhlasan yang sedang diusahakan oleh kita yang mengalami musibah. Kita mengucapkannya untuk menjadi sabar. Kita mengucapkan untuk menjadi kuat.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un kita ucapkan karena kita mencoba menghadirkan ikhlas di antara derai air mata. Karena kita memahami bahwa setiap manusia hakikatnya hanya hidup sementara di dunia. Juga karena kita memahami bahwa setiap manusia sudah mengantongi takdir usianya yang telah ditetapkan Allah.

Apa pun penyebab kematian seorang hamba, entah itu yang mendadak seperti kecelakaan, serangan jantung, atau terinfeksi virus corona seperti yang banyak dialami umat manusia saat ini, pada hakikatnya adalah ujian bagi kita yang ditinggalkan. Dan siapa bisa bersabar menyandarkan diri hanya kepada Allah Swt., maka Allah akan melimpahkan kebaikan-kebaikan baginya.

Merayakan kemenangan tanpa yang tersayang adalah kenyataan yang harus kita jalani. Duka yang terasa jangan sampai menghancurkan suka cita menyambut hari kemenangan. Sisakan ikhtiar untuk tetap produktif mengisi hari tanpa mereka yang telah meninggalkan kita, juga doa agar amal salih mereka (yang meninggal dunia) dapat menuntun mereka menuju surga.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur