KOMENTAR

DUA pertiga dari luas Indonesia adalah perairan atau lautan, sehingga wajarlah bila selera kuliner rakyatnya amat menggemari sajian ikan atau pun seafood. Dalam ajaran Islam, ikan atau hewan lautan tergolong dihalalkan, bahkan ditegaskan dalam kitab suci pula.

Surah Al-Maidah ayat 96, yang artinya, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.

Intinya, semua yang di laut halal dimakan, utamanya aneka ragam ikan. Sementara itu garansi menarik juga terbit dari Rasulullah saw. dalam hadisnya, “Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Lain ceritanya tatkala seorang suami kaget melihat istri yang baru dinikahinya menyiapkan sajian makanan dengan memotong-motong ikan tongkol. Dan darah pun mengalir sebagai pertanda ikan itu memang masih sangat segar. Tanpa berlama-lama, potongan ikan-ikan yang masih berdarah-darah itu pun langsung dimasak.

Bukannya tidak menghargai upaya keras istri tercinta, tetapi sang suami mengetahui betapa darah tergolong sebagai najis. Apakah setelah masakan itu dihidangkan dan disantap, dirinya sama saja memakan sesuatu yang haram?

Persoalan ini sangatlah menarik, sebab persoalan darah ikan tak jarang terlanjur terabaikan. Jelas sekali konsumen muslim membutuhkan titik terang supaya apa yang disantap tidak menyalahi aturan agama.

Surah Al-An’am ayat 145, yang artinya, “Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah.

Ibnu Rusyd dalam buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1 (2016: 127) menerangkan:

Para ulama sepakat bahwa darah binatang darat itu najis. Tetapi, mereka berbeda pendapat tentang darah ikan. Begitu juga, mereka berbeda pendapat tentang darah yang hanya sedikit dari binatang darat.

Menurut sebagian ulama, darah ikan itu suci. Inilah salah satu versi pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i. Menurut sebagian ulama yang lain, darah ikan itu najis, sesuai dengan hukum asal. Inilah pendapat Imam Malik dalam kitab Al-Mudawwanah.

Juga ada sebagian ulama lain yang berpendapat, sesungguhnya darah yang hanya sedikit hukumnya ma’fu atau dimaafkan. Tetapi juga ada yang berpendapat, darah yang sedikit atau banyak, hukumnya sama. Yang pertama tadi adalah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.

Daman masfuhan (darah yang mengalir) inilah yang membuat kehalalan makan ikan jadinya dipertanyakan. Ikan yang berukuran besar biasanya mengalirkan darah yang lumayan banyak saat dipotong-potong, sementara darah hukumnya adalah najis.

Bagi pihak manapun yang beranggapan Daman masfuhan (darah yang mengalir) dari ikan digolongkannya sebagai najis, maka darah itu pun haram dimakan. Dengan demikian, saat menyantap ikan haruslah dihindari termakan darahnya yang tergolong daman masfuhan tersebut.

Bahkan jika mengenai pakaian misalnya, maka pakaian yang terkena darah ikan yang mengalir itu jadinya sebagai terkena najis. Maka bekas yang terkena darah itu wajib disucikan dengan cara membasuhnya sampai warna darah itu dan aromanya juga hilang.

Sebetulnya kita bisalah bernapas lega, sebab ibu-ibu Indonesia sudah terbiasa membasuh potongan-potongan daging ikan dan membilasnya hingga bersih dari darah. Dengan tradisi pembersihan secermat itu, mudah-mudahan kita tidak termakan darah ikan tersebut.

Bagaimana kalau setelah dicuci bersih tapi masih ada sedikit sisa-sisa darah yang masih menempel pada daging ikan yang dimasak?

Kejadian macam begini masih tergolong sebagai ma’fu ‘anhu, atau sebagai sesuatu yang dimaafkan. Hal demikian tidaklah dipermasalahkan, dan lagi pula sukar sekali membebaskan sedikit sekali sisa-sisa darah yang terselip di serat-serat daging ikan.

Hanya saja, terdapat ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama terkait hukum dari darah ikan tersebut, yang tentunya menarik untuk ditelaah.

Abdul Wahab Abdussalam Thawilah dalam bukunya Fikih Kuliner (2010: 192-193) mengungkapkan:

Ulama berselisih pendapat mengenai darah ikan yang mengalir, seperti ikan paus dan ikan-ikan besar lainnya: a) Para ulama Mazhab Maliki, dan Mazhab Syafi’i dalam pendapat yang paling sahih menurut mereka, dan Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi menilai hukumnya najis, sebagaimana darah yang lain, berdasarkan keumuman firman Allah, yang artinya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…” (arti surah Al-Ma'idah ayat 3)

b) Para ulama Mazhab Hanafi dalam pendapat yang mereka nilai shahih, para ulama Mazhab Hambali, sebagian ulama Mazhab Syafi'i, dan Ibnul Arabi dari Mazhab Maliki menilai hukumnya suci. Sebab, ikan boleh dimakan bersama darahnya tanpa harus disembelih. Seandainya najis, tentulah tidak diperbolehkan dimakan sebelum darahnya ditumpahkan, alias disembelih.

Adapun pihak yang mengatakan darah ikan tidaklah najis atau tidak diharamkan juga memiliki landasan yang kuat juga.

Muhammad Amin Suma dalam buku Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Ma’idah (2021: 65) menjelaskan:

Al-masfuh = yang dialirkan, ditumpahkan, dicucurkan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “daman masfuhan” yang hukumnya diharamkan ialah darah yang keluar/mengalir dari dalam tubuh hewan sembelihan.




Ternyata Siomay Bisa Saja Haram

Sebelumnya

Parsel: Halal atau Haram?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Halal Haram