BERKIPRAH di bidang yang didominasi laki-laki menjadi tantangan terbesar bagi Esther Gayatri Saleh. Namun, hal itu tak pernah menghalangi langkahnya. Dengan keteguhan dan kerja kerasnya, Esther menjadi salah satu bukti bahwa perempuan mampu berkompetisi secara setara dan berdiri sejajar dengan para pria.
Kapten Esther Gayatri Saleh merupakan satu-satunya perempuan asal Indonesia yang menjadi pilot penguji atau test pilot. Pada tahun 2017, Kapten Esther Gayatri Saleh berhasil menduduki posisi prestisius sebagai satu-satunya perempuan di Asia yang menjadi anggota Society of Experimental Test Pilot, sebuah organisasi internasional yang berbasis di Amerika Serikat.
Awalnya, Esther Gayatri Saleh bercita-cita menjadi fotografer jurnalistik. Namun, arah mimpinya berubah ketika ia kerap bepergian bersama orang tuanya dengan pesawat. Pada masa itu, pintu kokpit masih terbuka, memungkinkan Esther melihat langsung para pilot bekerja. Dari situlah rasa ingin tahunya terhadap dunia penerbangan mulai tumbuh dan perlahan menggantikan impian lamanya.
“Saya penasaran, kok pilot tahu, ya arah pesawat? Saya juga lihat banyak tombol-tombol (di kokpit). Saya penasaran sekali,” kata Esther.
Maka dari itu, usai lulus SMA, Esther mendaftar ke Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Banten. Namun, sayangnya Esther ditolak dikarenakan alasan tinggi badannya yang tak memenuhi syarat. “Saya ditolak, karena tinggi saya tidak mencukupi dan saya berasal dari jurusan IPS (Ilmu Pendidikan Sosial),” tutur Esther.
Dengan tekad yang bulat, Esther memberanikan diri mendaftar ke Sawyer School of Aviation di Phoenix, Amerika Serikat, pada tahun 1982. Keberaniannya tak sia-sia, ia dinyatakan lolos dan resmi menempuh pendidikan penerbangan di Negeri Paman Sam.
Selepas lulus, perjalanan kariernya tidak berjalan begitu mulus. Ia sempat ditolak mengkonversikan lisensi yang ia raih di Amerika menjadi lisensi Indonesia untuk menjadi syarat seleksi pilot.
“Enggak ada yang mau menerima saya, karena saya perempuan. Saya pergi ke sana ke mari, tapi tetap ditolak,” kisah Esther.
Bahkan, ia mengaku sering diremehkan oleh orang lain. “Saya sudah enggak bisa hitung berapa banyak perilaku tidak menyenangkan itu. Perlakuan itu tidak tertulis, tapi itu sudah melecehkan, karena saya perempuan. Kamu, kan perempuan, pantasnya di dapur saja. Itu sering sekali saya dengar sejak saya bekerja menjadi pilot,” kata Esther dikutip dari Nova.id.
Inilah yang membuatnya ia sempat mengalami depresi selama 10 tahun menjalani karier sebagai pilot.
Kendati demikian, ia tak menyerah begitu saja. Esther melamar di PT. Nurtanio—yang sekarang berubah menjadi PTDI, perusahaan Presiden RI ketiga, Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Tak disangka, kinerja serta kegigihan Esther berhasil memukau Habibie pada saat itu. Habibie pula yang meyakinkan Esther kalau dirinya bisa menjadi seorang pilot.
“Pak Habibie yakin saya bisa jadi pilot. Saya diterima langsung olehnya, saya langsung diminta datang ke kantor yang berada di Bandung,” ungkap Esther.
Di sinilah, Esther dipercaya Habibie untuk menerbangkan pesawat-pesawat yang dibuat PTDI. Tak tanggung-tanggung, Esther bahkan dipercaya bisa menerbangkan pesawat rancangan Habibie yakni Gatot Kaca N-250.
Lagi-lagi, kinerja dan kerja kerasnya menjadi co-pilot uji coba pesawat membuat Habibie terkesima. Sehingga, mendiang Habibie kemudian menempatkan Esther sebagai pilot di Merpati Airlines (1987-1995). Dari situ, dia kemudian diangkat menjadi Kapten Pilot Uji.
“Kalau jadi pilot, perempuan sudah banyak. Tapi, kalau pilot uji, saya rasa, saya yang pertama kali mendapatkan ini.”
Tugas Esther bukan sekadar menerbangkan pesawat. Ia bertanggung jawab menguji pesawat yang baru diproduksi maupun yang tengah dikembangkan untuk memastikan kelayakannya sebelum mendapatkan lisensi resmi. Esther juga menyusun buku manual untuk para pilot yang akan menerbangkan pesawat tersebut.
Di atas itu, tanggung jawabnya mencakup pengujian mesin di udara, salah satu tahap paling berisiko dalam profesi ini. “Jadi nanti pas di atas, mesin dimatikan, kemudian dihidupkan lagi. Ada risiko, mesin enggak nyala.”
Meski telah berpengalaman sebagai pilot penguji, Esther tetap harus menjalani berbagai ujian ketat. Setiap enam bulan sekali, ia wajib mengikuti tes kesehatan dan psikologis untuk memastikan dirinya masih layak menjalankan tugas berisiko tinggi ini.
Sepanjang kiprahnya di dunia penerbangan, Esther telah menerbangkan pesawat Terbang CN 295, CN 235 Series, NC 212-200, NC 212i, C 172, C 152, KODIAK, Decathlon, Beechcraft Duchess 76, N250, dan N219.
Ketangguhan dan dedikasinya terhadap dunia penerbangan diharapkan dapat menginspirasi dan memotivasi generasi berikutnya terutama perempuan muda Indonesia untuk berkiprah di dunia penerbangan dan di profesi apa pun untuk membanggakan bangsa.
 
								
 
										
																					 
														 
														 
														
 
							 
							 
							 
							 
							
KOMENTAR ANDA