KOMENTAR

HUJAN deras itu pun bersalin rupa menjadi banjir yang mencemaskan. Dengan cepat luapan air dari arah sungai menggapai atap-atap rumah. Dalam kepanikan yang diselimuti gulita malam, warga pun bergegas menyelamatkan diri menuju tempat yang lebih tinggi.

Syukurnya, masjid termasuk yang berada di ketinggian. Orang-orang pun beramai-ramai menyelamatkan diri di rumah Tuhan. Setidaknya, mereka masih sempat menyelamatkan nyawa, meski pasrah dengan harta benda yang dilalap air bah.

 “Ayo! Ayo masuk!”

Seruan itu tidak membuat seorang perempuan bergeser sedikit pun. Dia masih tegar di luar masjid, menahan belaian dinginnya udara malam.

Kenapa ia enggan masuk masjid?

Ternyata ia dalam keadaan haid dan memutuskan untuk tidak masuk rumah ibadah. Hingga fajar menyingsing di ufuk timur, perempuan itu tetap tegar bertahan di teras luar.

Petugas dan relawan bahu membahu dalam bekerja keras, sehingga banjir lekas surut. Para pengungsi pun berangsur pulang, membersihkan rumah masing-masing. Tapi, perempuan tersebut malah masuk ke dalam masjid, memasukkan sejumlah uang ke kotak amal, lalu pulang menuju kediamannya.

Apakah dirinya tidak teguh dengan prinsipnya? Apakah secepat itu dia berubah pendirian? Nah, jadi menarik nih untuk dikaji perihal hukum wanita haid masuk masjid.

Abdul Syukur al-Azizi dalam Buku Lengkap Fiqh Wanita (2015: 58-59) menjelaskan:

Ada tiga pendapat yang berkenaan dengan perempuan haid masuk masjid tersebut. Pertama, pendapat yang melarang perempuan haid masuk masjid, hal ini kebanyakan diikuti oleh sebagian ulama bermazhab Maliki dan Hanafi. Mereka melarang secara mutlak perempuan haid masuk ke masjid.

Kedua, pendapat yang membolehkan dengan syarat  Pendapat ini banyak diikuti dari kalangan ulama bermazhab Syafi’i dan Hambali. Menurut mereka, perempuan haid dilarang menetap/berdiam di masjid, kecuali sekadar lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalam masjid.

Ketiga, pendapat yang membolehkan secara mutlak tanpa syarat apa pun bagi perempuan haid berada di masjid selama diyakini darahnya tidak akan mengotori masjid.

Dari ketiga pendapat tersebut, sebaiknya perempuan berhati-hati untuk memasuki masjid ketika dalam keadaan haid. Andai harus terpaksa memasuki masjid, jangan sampai darah haid menetes hingga mengotori masjid.      

Ketika berhadapan dengan perbedaan fatwa antarmazhab, sikap yang kita pilih adalah mengedepankan penghormatan. Setiap mazhab memiliki ulama-ulama yang kapasitas ilmunya yang luar biasa, dan mereka sama-sama berfatwa dengan dalil-dalil yang sah. 

Apabila terjadi perbedaan pendapat ulama terhadap suatu hukum, maka umat Islam dapat menjatuhkan pilihannya. Hanya saja, di Indonesia ini mayoritas kaum muslimin menganut Mazhab Syafi’i, dan sebaiknya dicermati penjelasan berikut ini.

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi pada buku Fikih Empat Madzhab Jilid 1 (2015: 189) menerangkan: 

Menurut Mazhab Asy-Syafi'i: adapun untuk hukum masuk ke dalam masjid, bagi orang yang junub, perempuan haid atau nifas, mereka dibolehkan memasukinya untuk sekadar lewat saja, bukan untuk berdiam di dalamnya, dengan syarat ia dapat menjamin dirinya tidak akan mengotori masjid tersebut, dan juga dengan syarat hanya satu arah saja, tidak bolak-balik.

Nah, dari uraian ini dapatlah kita menebak, kira-kira mazhab apa yang dipegang oleh perempuan yang menjadi lakon di kisah pembuka. Dia memutuskan tidak bermukim semalaman di dalam masjid, sesuai dengan fatwa ulama yang berkaitan perempuan haid. Dirinya pun menjaga kesucian masjid agar tidak terkotori oleh tetesan darahnya.

Akan tetapi perempuan itu kemudian masuk masjid demi memasukkan sumbangan ke kotak amal. Ini pun diperbolehkan, mengingat dirinya hanya melintasi demi melakukan amal kebajikan.

Prinsip macam ini dibuat oleh ulama juga berlandaskan kepada dalil-dalil, di antaranya:

Sa`id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani pada buku Shalatul Mu`min: Bab Thaharah (2021: 82) menerangkan:

Begitu juga bagi perempuan haid dan nifas, keduanya boleh lewat di dalam masjid, asal dengan cara hati-hati dan tidak sampai mengotori masjid dengan tetesan darahnya. Hal ini berdasarkan hadis berikut:

Dari Aisyah ia berkata, Rasulullah saw. pernah berkata kepadaku dari dalam masjid, “Tolong ambilkan aku sajadah!”

Aku menjawab, “Sesungguhnya aku sedang haid.”




Betapa Berat Kafarat Jima’ Saat Berpuasa

Sebelumnya

Sahur Itu Sunnah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih