Demonstran di luar gedung pengadilan federal menunggu persidangan gugatan hukum yang menentang penangkapan dan deportasi aktivis kampus pro-Palestina (7/7). (Reuters)
Demonstran di luar gedung pengadilan federal menunggu persidangan gugatan hukum yang menentang penangkapan dan deportasi aktivis kampus pro-Palestina (7/7). (Reuters)
KOMENTAR

SEBUAH sidang penting tengah berlangsung di Boston, Amerika Serikat, dalam kasus yang diajukan oleh kelompok profesor universitas yang menentang kebijakan imigrasi pemerintahan Donald Trump.

Gugatan ini menyoroti dugaan pelanggaran terhadap kebebasan berbicara yang dijamin Amandemen Pertama Konstitusi AS, terutama terhadap mahasiswa dan dosen internasional yang terlibat dalam advokasi pro-Palestina.

Seperti dilaporkan Reuters, sidang tanpa juri ini dimulai Senin (7/7) dan menjadi yang pertama dari ratusan gugatan serupa yang benar-benar masuk ke meja hijau. Hakim Distrik William Young memutuskan bahwa persidangan terbuka adalah cara terbaik untuk mencari kebenaran, tidak seperti kasus lain yang sering diputuskan di awal proses tanpa saksi.

Gugatan ini diajukan oleh American Association of University Professors dan afiliasinya di Harvard, Rutgers, New York University, serta Middle East Studies Association. Mereka menuduh Departemen Luar Negeri dan Keamanan Dalam Negeri AS mencabut visa dan mendeportasi warga non-AS yang menyuarakan dukungan untuk Palestina, dengan dalih memerangi antisemitisme.

Ramya Krishnan, pengacara dari Knight First Amendment Institute, menyebut bahwa kebijakan ini telah menimbulkan ketakutan luas di lingkungan kampus. Ia menyoroti kasus Mahmoud Khalil, lulusan Columbia University, dan Rumeysa Ozturk dari Tufts University, yang menjadi target awal penangkapan karena advokasi mereka.

Dua profesor asing bersaksi bahwa tindakan pemerintah membuat mereka merasa terancam dan membatasi aktivitas akademik dan sosial mereka. Mereka khawatir menjadi target selanjutnya karena dukungan mereka terhadap Palestina.

Sementara itu, pihak pemerintah melalui pengacara Victoria Santora membantah adanya kebijakan deportasi bermotif ideologi. Ia menyatakan pemerintah hanya menjalankan hukum imigrasi demi menjaga keamanan nasional.

Hakim Young menegaskan bahwa kasus ini adalah persoalan serius terkait kebebasan berpendapat. Jika ditemukan pelanggaran konstitusi, pengadilan akan melanjutkan ke fase penentuan penyelesaian. Sidang ini menjadi penentu penting bagi masa depan kebebasan berekspresi di kampus-kampus AS.




Komisi VIII DPR Setujui Penyesuaian Anggaran Kemenag 2025 untuk Tunjangan Guru & Layanan Publik

Sebelumnya

Indonesia Kirim 10.000 Ton Beras ke Palestina, Presiden Prabowo Instruksikan Langsung Misi Kemanusiaan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News