Sambutan yang baik diberikan oleh Raja Najasyi terhadap rombongan hijrah dari Mekah tersebut. Sang Raja Habasyah memberikan perlindungan keamanan dan juga pelayanan yang memuaskan untuk kebutuhan hidup. Tidak cela sama sekali selama kaum Muhajirin berlindung di benua Afrika.
Setelah sekitar dua bulan di Habasyah (Ethiopia sekarang), tersiar suatu kabar yang menggembirakan para Muhajirin. Kabar-kabarnya kondisi Mekah sudah aman sentosa, kaum muslimin tidak lagi dipersekusi. Kalangan Muhajirin meyakini sudah tiba waktunya kembali ke kampung halaman dan menjalani kehidupan yang normal.
Muhammad Abdullah al-Khatib (1995: 31) menyebutkan:
Setelah tinggal di Habasyah dua bulan, yaitu selama bulan Rajab dan Ramadhan, kaum Muhajirin kembali ke Mekah. Mengapa? Bukankah Raja Najasyi menghormati kehadiran mereka?
Jawabnya, mereka mendengar berita bahwa Quraisy telah menghentikan gangguan atas mereka dan para sahabat diberi kebebasan oleh orang-orang kafir sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah dengan leluasa. Namun perjalanan kaum Muhajirin kembali ke Mekah tidak berjalan mulus karena orang-orang Quraisy selalu mengawasi dan menghalangi mereka.
Apa sesungguhnya kabar yang tersiar itu hingga memicu Muhajirin pulang lagi ke Mekah?
Sekalipun menolak dan membenci dakwah agama Islam, pada kenyataannya secara sembunyi-sembunyi pihak musyrikin senang mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Hingga suatu ketika Nabi Muhammad membacakan ayat-ayat suci di pelataran Ka’bah hingga sampai di surat an-Najm ayat 62, yang artinya, “Bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).”
Sesuai dengan ayat tersebut maka Rasulullah pun bersujud. Dan yang tidak disangka-sangka kaum musyrikin yang menyimak diam-diam, saking terpesonanya mereka ikut pula bersujud. Kejadian itu akhirnya menyebar luas dan menimbulkan berbagai pemahaman.
Kaum Muhajirin yang berada di Habasyah tergugah mendengar kaum Quraisy telah bersujud beramai-ramai dan mengira mereka sudah mengakui atau memeluk agama Islam. Setidaknya kabar baik itu sudah menggambarkan kondisi Mekah yang telah kondusif. Muhajirin pun berinisiatif pulang kembali ke pangkuan kampung halaman.
Hanya saja saat mereka hampir tiba di Mekkah, diperoleh berita kalau kondisi kota tersebut belumlah aman. Kabar yang dikira berita baik ternyata hanyalah salah sangka belaka.
Akibatnya, sebagian Muhajirin kembali lagi ke Habasyah dan sebagian lainnya diam-diam pulang ke Mekah dengan meminta perlindungan suku-suku setempat.
Hikmah besar di balik siksaan
Ternyata kabar itu memang tidak benar, sebab yang kembali dialami kaum muslimin justru penyiksaan yang tak terperikan.
Kondisi yang kian berat membuat kaum muslimin memikirkan solusi menyelamatkan diri. Negeri Habasyah pun kembali terbersit di pemikiran, terlebih rombongan pertama sudah membuktikan kebaikan hati Raja Najasyi. Maka terhimpunlah gelombang kedua yang berhijrah ke Habasyah yang jauh lebih besar jumlahnya.
Mahdi Rizqullah Ahmad pada buku Biografi Rasulullah Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017: 247) menceritakan:
Sepulangnya dari hijrah ke Habasyah yang pertama, kaum muslimin mendapatkan penyiksaan dan penganiayaan yang lebih kejam daripada sebelumnya. Melihat hal itu, Rasulullah mengizinkan mereka kembali ke Habasyah. Pada hijrah ke Habasyah yang kedua ini, jumlah mereka lebih dari 80 orang lelaki dan 19 orang perempuan.
Tidak ada yang sia-sia dari amalan kaum muslimin, rombongan pertama yang sempat tertipu pulang ke Mekah malahan menjadi pioner kebaikan. Merekalah yang memboyong (dalam arti menyelamatkan) lebih banyak kaum muslimin yang ikut serta dalam rombongan kedua hijrah ke Habasyah.
Dengan jumlah Muhajirin yang lebih besar, tentunya proses hijrah menjadi lebih rumit. Anak-anak dan juga perempuan yang turut sertapun merupakan alasan supaya mereka lebih waspada. Karena pihak musyrikin sudah mengintai dengan berbagai tindakan kekerasan untuk menggagalkan proses hijrah ke Habasyah.
Pengalaman adalah sesuatu yang teramat berharga, sebagaimana dengan cerdiknya kaum Muhajirin yang berjumlah besar itu berhijrah dengan selamat. Di negeri Habasyah mereka memperoleh perlindungan dan juga keamanan.
Di benua Afrika itu terjadi kisah-kisah yang menggugah, yang melibatkan muslimah dalam kejadian yang indah.
Mahdi Rizqullah Ahmad (2017: 248) menerangkan:
Tentang hijrah ke Habasyah yang kedua ini, Ibnu Ishaq menuturkan kisah Ummu Salamah, “Sesampainya di Habasyah, kami hidup bertetangga dengan sebaik-baiknya tetangga, yaitu Sang Najasyi. Ia membuat kami merasa aman memeluk agama kami dan beribadah kepada Allah. Kami juga juga tidak dianiaya atau pun mendengar kata-kata yang tidak kami suka.”
Kesan demikian manis yang dirasakan oleh Ummu Salamah dan Muhajirin lain bukan berarti mereka sudah mendapatkan kehidupan yang sempurna. Karena nyatanya musyrikin Quraisy melancarkan intimidasi, dan berupaya mempengaruhi Raja Najasyi agar mengusir para Muhajirin. Jalan dakwah itu memang berliku. (F)
KOMENTAR ANDA