China terapkan kebijakan lockdown di Shanghai/ FOTO: Reuters
China terapkan kebijakan lockdown di Shanghai/ FOTO: Reuters
KOMENTAR

KETEGANGAN akibat kebijakan lockdown yang dijalankan pemerintah telah mengekspos perpecahan di antara penduduk Shanghai. Mengadu yang muda dengan yang tua, penduduk setempat melawan orang asing, dan yang terpenting, COVID-negatif melawan orang-orang yang positif COVID.

Selama 5-18 April 2022, ada 24.720 kasus COVID-19 di Shanghai. Bahkan pada 18 April, tercatat ada 12.338 kasus baru.

Sebanyak 25 juta warga Shanghai, yang sebagian besar tinggal di blok-blok apartemen, telah menjalin ikatan komunal baru selama wabah virus corona di kota itu, melalui barter, pembelian kelompok, dan mendirikan komunitas berbagi makanan.

Banyak warga memang telah mengeluhkan persediaan bahan makanan yang semakin menipis sementara mereka dilarang untuk keluar rumah dan bantuan pemerintah belum datang.

Tak ayal, lockdown yang sudah berlangsung selama empat minggu membuncahkan frustasi. Rasa frustasi juga 'meledak' di grup pesan WeChat.

Salah satunya, konflik meletus ketika seorang perempuan yang dibawa ke karantina terpusat—tempat dia dites negatif –menuduh tetangga yang melaporkannya ke pihak berwenang.

Bukan hal yang aneh jika hasil tes dibagikan dan kasus positif diumumkan dalam grup WeChat, karena pihak berwenang berusaha mengatasi wabah terbesar di China sejak virus itu pertama kali diidentifikasi di Wuhan pada akhir 2019.

Ada pula kisah yang memicu kepanikan saat seorang warga AS diberitahu akan dikirim ke pusat karantina setelah hasil tes beberapa orang, termasuk miliknya, kembali positif minggu lalu.

Warga AS itu mengeluhkan obrolan WeChat yang kerap mengatakan hal-hal seperti 'apakah orang yang positif itu masih di sini?'.

Penduduk yang lebih tua dan lebih rentan terhadap COVID-19 juga lebih kencang menyerukan pengusiran segera jika kasus positif di lingkungan mereka.

“Karena media melebih-lebihkan penyakit ini, dan karena orangtua memiliki sistem kekebalan yang lebih lemah, mereka lebih takut pada virus ini,” kata seorang warga.

Lain lagi kisah seorang warga asing yang tak ingin disebutkan namanya, tetangga menduganya positif COVID ketika hasil tesnya gagal diunggah ke aplikasi kesehatan.

Manajemen gedung kemudian mencoba memblokir pengiriman makanan keluarganya kecuali mereka membagikan hasil tes COVID ke para tetangga. Permintaan yang dianggap melanggar privasi menurut sejumlah penduduk Shanghai.

Masyarakat tidak memiliki pedoman sedangkan layanan Pusat Pengendalian Penyakit kewalahan. Saat ini masyarakat seolah harus berperan sebagai dokter, polisi, dan hakim pada saat yang bersamaan.

Beberapa orang ditolak masuk ke rumah mereka dan diperintahkan untuk tinggal di hotel meskipun sudah dibebaskan dari karantina pusat. Padahal itu melanggar aturan negara.

Orang asing lain yang dites positif mengatakan ia memilih isolasi mandiri di apartemennya daripada dikirim ke karantina pusat. Keputusan itu membuat banyak tetangganya kecewa, memintanya pergi, mencoba mengeluarkannya dari grup pemesanan sembako, bahkan menuntut dia membuat permintaan maaf resmi.

Seorang tetangga menyebutnya foreign trash (sampah asing) sementara yang lain menyebarkan kebohongan tentang kesehatan mentalnya. Tak ada yang membantu orang asing itu.

"Saya melihat tangkapan layar dari mereka yang memberi tahu penduduk untuk terus menelepon agar saya keluar," katanya, seraya menambahkan bahwa dia akan pindah sesegera mungkin, seperti dilaporkan Reuters.

 




Kencangkan Dukungan ke Palestina, Universitas Siber Muhammadiyah Gelar Aksi Hybrid dan Penggalangan Dana

Sebelumnya

Kelompok Pro-Israel Serang Demonstran Pro-Palestina, Bentrokan Terjadi di Kampus UCLA

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News