KOMENTAR

 

Sebuah pertanyaan tentang pilihan

Di antara sekian banyak kasus yang menyoal praktik keagamaan, dua di antaranya bisa kita simak.

Pada tahun 1994, pengadilan tinggi telah menyelesaikan perselisihan tanah yang kontroversial antara umat Hindu dan Muslim dengan mengatakan bahwa sebuah masjid tidak "penting" untuk mempraktikkan Islam karena salat dapat dilakukan di mana saja. Jadi diputuskan tanah di sekitar masjid bisa diberikan kepada umat Hindu.

Pada tahun 2016, pengadilan tinggi di Kerala memeriksa Al-Qur'an dan mengatakan bahwa teks yang menetapkan penutup kepala sebagai kewajiban agama dan, oleh karena itu, dianggap penting untuk Islam. Hal itu menjawab petisi sejumlah mahasiswi yang tidak diperkenankan berhijab saat ujian kedokteran dengan alasan hijab memungkinkan mereka menyontek.

“Pengadilan telah menerapkan tes dengan cara yang tidak konsisten, berulang kali mengubah metode penentuan esensialitas, dan merusak kebebasan beragama,” tulis sarjana hukum Faizan Mustafa dalam makalahnya bertajuk Freedom of Religion in India (2017).

Dia berpendapat bahwa tes tersebut saat ini membatasi ruang lingkup kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.

Kekecewaan juga diungkapkan Profesor Ashutosh Varshney dalam akun Twitternya @ProfVarshney. Ia menyatakan larangan hijab adalah salah satu tragedi di pengadilan India ketika hakim memutuskan apa yang "penting" bagi suatu agama. Ia menyebutnya aneh dan berbahaya. Hanya ahli hukum agama, teolog, atau praktisi agama tersebutlah yang bisa memutuskan. Pengadilan sekuler tidak bisa dan tidak seharusnya melakukan itu.

Ia juga mengingatkan bahwa inti dari kasus hijab bukanlah apakah hijab itu “penting” bagi Islam, tetapi apakah perempuan muda Muslim berhijab memiliki hak atas pendidikan. Ini adalah dua hal yang dapat dipisahkan secara analitis.

Sedangkan Rebecca John mengatakan penekanannya harus pada pilihan.

"Siapa kita sampai bisa mengatakan bahwa pilihan seorang perempuan untuk mengenakan hijab tidak dipikirkan dengan matang? Pengadilan seharusnya mempertimbangkan argumen seorang pemeluk agama daripada hanya berfokus pada tes esensialitas," ujar Rebecca.

"Jika Anda harus menerapkan seragam sesuai aturan, maka itu harus berlaku untuk semua orang. Artinya, Anda juga tidak boleh mengizinkan seseorang untuk memakai bindi atau memiliki benang suci di pergelangan tangan mereka. Ketika Anda bersikeras aturan itu hanya untuk sekelompok orang, itu diskriminatif!"

Foto-foto: getty images




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News