KOMENTAR

SEBAGAI guru seni di Sekolah Luar Biasa (SLB), Setianingsih ingin anak-anak didiknya dapat mandiri setelah lulus sekolah.

Selama empat tahun mengajar di kelas XII, ia selalu selalu menghadapi pertanyaan yang sama dari para orangtua saat pengambilan rapor. ”Bu Ning, anak saya setelah lulus mau kemana, mau ngapain?”

Pertanyaan itulah yang akhirnya menggugah hatinya untuk mengajarkan keterampilan berupa kerajinan tangan kepada anak-anak didiknya. Mulai dari tas, gantungan kunci, suvenir, masker, konektor masker, dan berbagai aksesoris lain yang sedang digemari masyarakat.

Tujuannya satu, keterampilan itu tidak hanya menjadi bahan ajar di sekolah tapi juga menjadi bekal hidup para peserta didik setelah lulus dari SLB.

Mengajar sejak tahun 2011, Setianingsih mengaku merasa terpanggil untuk mengajar para ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). “Mereka membutuhkan tangan-tangan khusus yang dapat mengajar dengan kasih sayang,” kisah Bu Ning, panggilan akrab Setianingsih.

Sosok Bu Ning dikenal sebagai perempuan inspiratif, pekerja keras, dan penyabar. Ia bahkan membuat buku panduan pelatihan kerajinan bagi ABK. Sebuah buku yang ia harap bisa berdampak besar. Ia tak ingin jadi satu-satunya orang yang bisa mengajarkan keterampilan kepada para ABK.

Pada tingkat menengah atas, kebijakan di SLB memang menghadirkan 70% vokasi dan 30% akademik. Ada empat bidang vokasi yang tersedia yaitu suvenir, tata boga, IT, dan sablon. Sebelumnya, para peserta didik menjalani assesment untuk melihat kemampuan mereka yang dianggap sesuai dengan keempat bidang tersebut.

Bu Ning melihat saat ini kesempatan bekerja bagi para lulusan SLB belum merata. Meski demikian, ia mengapresiasi dua perusahaan ritel (minimarket) yang sudah menerima karyawan tunarungu, dan kini mulai terbuka bagi tunagrahita ringan. Untuk tunarungu dan tunanetra saat ini sudah cukup banyak yang diakomodasi oleh Dinas Tenaga Kerja.

Karena itulah Bu Ning bertekad untuk menjadikan kerajinan tangan sebagai salah satu jalan bagi para ABK untuk mandiri. Ia menyediakan waktunya untuk memberi pelatihan keterampilan di rumahnya, di luar jam sekolah.

Beberapa peserta didik yang sudah lulus juga dapat mengambil bahan dan peralatan kerajinan untuk dikerjakan di rumah masing-masing. Setelah jadi, hasilnya diantar kembali ke rumah Bu Ning. Barulah kemudian dijual melalui sistem online.

Untuk mengajar keterampilan di luar jam sekolah, Bu Ning tak meminta bayaran. Begitu pula dengan aktivitasnya di lingkungan warga sekitar. Ia mengadakan pelatihan kerajinan bagi ibu-ibu di wilayahnya. Dengan begitu, mereka bisa menambah pemasukan keluarga.

Untuk kerajinan tangan yang diajarkan kepada warga, Bu Ning memilih fokus pada daur ulang sampah. Ia tergerak karena melihat banyaknya bank sampah namun belum dikelola dengan baik. Sampah sudah dipilah, tapi belum digarap secara maksimal.

Di masa pandemi, pelatihan kerajinan tangan tetap berjalan meskipun harus menggunakan aplikasi Zoom. Memang terasa lebih sulit, tapi Bu Ning tetap bersemangat untuk membina para muridnya.

Apa yang membuat Bu Ning sangat peduli pada ABK?

“Karena saya sudah lama di bidang pendidikan disabilitas, mereka bagi saya seperti anak kandung sendiri. Mereka sangat peka. Jika saya datang ke sekolah dengan murung atau kurang sehat, mereka menyadarinya. Mereka perhatian, di situlah ada kasih sayang. Yang paling berkesan adalah saat saya berada bersama mereka. Mereka memang butuh bimbingan dalam hal belajar apa pun. Dengan berkali-kali salah, tapi akhirnya mereka bisa.”




Tetap Aktif di Usia 83 Tahun, Ros Yusuf Sekolahkan Anak Yatim Piatu dan Dhuafa Demi Pendidikan yang Adil Merata

Sebelumnya

Henny Christiningsih, Membawa UMKM Batik Go Global

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Paras Jakarta