TAK sedikit anak yang tumbuh dengan rasa bingung dan kecewa karena sosok ayah terasa jauh, bahkan nyaris tak pernah terlibat dalam percakapan sehari-hari. Ayah hadir secara fisik, tetapi tidak secara emosional. Mereka jarang bertanya kabar, enggan bermain, dan tidak tahu bagaimana menjalin obrolan hangat dengan anak.
Lalu muncul pertanyaan: apakah mereka tidak mau dekat, atau memang tidak tahu caranya?
Ternyata, dalam banyak kasus, hal ini bukan karena kurangnya kasih sayang. Beberapa ayah tumbuh tanpa panutan—tidak pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya memiliki ayah yang hangat dan hadir.
Ada yang masa kecilnya dijalani dengan ayah yang sibuk merantau, bekerja dari daerah ke daerah demi mencukupi kebutuhan keluarga. Akibatnya, figur ayah yang seharusnya bisa menjadi contoh dalam membangun kedekatan emosional tak pernah benar-benar hadir dalam hidup mereka.
Ketika dewasa dan menjadi ayah, mereka pun kebingungan. Mereka tidak memiliki referensi atau pengalaman personal tentang bagaimana menjadi ayah yang terbuka dan dekat secara emosional. Komunikasi dengan anak terasa canggung, bahkan menegangkan.
Dalam diamnya, mungkin ada keinginan untuk lebih dekat, namun tak tahu harus mulai dari mana. Trauma masa kecil ini seringkali tak disadari, tetapi membentuk pola hubungan yang kaku dan dingin dengan anak.
Namun, semua itu bukan akhir cerita. Menjadi ayah yang hangat bisa dipelajari. Mulai dari mendengarkan tanpa menghakimi, mengajak anak bicara hal sederhana, hingga meluangkan waktu untuk hadir secara utuh.
Terapi keluarga, komunitas parenting, atau bahkan mengakui luka masa lalu adalah langkah awal yang penting. Dengan kesadaran dan usaha kecil yang konsisten, seorang ayah bisa memutus rantai ketidakhadiran emosional antargenerasi dan mulai membangun hubungan yang lebih dekat, sehat, dan penuh makna dengan anak-anaknya.
Ya, ayah pasti bisa.
KOMENTAR ANDA