KOMENTAR

MELALUI Lentera Sintas Indonesia yang didirikan tahun 2011, Roosalina Wulandari aktif memberi pendampingan psikososial bagi para penyintas kekerasan seksual.

Menurut Ibu Wulan, panggilan akrabnya, Lentera Sintas Indonesia bertumpu pada tiga pilar yaitu edukasi, advokasi, dan pemulihan. Tiga hal tersebut diharapkan menjadi sinergi komprehensif yang mampu meminimalkan kekerasan berbasis gender di masyarakat.

Di saat pandemi COVID-19 sekali pun, Ibu Wulan dan kawan-kawan tidak berhenti bergerak.

Advokasi tetap diberikan meski secara online. Salah satunya, Ibu Wulan aktif memberi pelatihan daring kepada pengurus RT, RW, guru mengaji, dan guru TK tentang kekerasan seksual pada anak. Di lingkungannya, Ibu Wulan dikenal sebagai konsultan Pusat Informasi Keluarga (PIK).

Edukasi menjadi pilar penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa ada hal-hal yang mungkin selama ini dianggap tidak melanggar batas, namun sebenarnya dikategorikan sebagai kekerasan atau pelecehan.

Edukasi juga diharapkan membuat masyarakat paham tentang apa yang harus dilakukan jika mendapati korban kekerasan di lingkungan mereka.

Kepedulian perempuan yang berprofesi sebagai psikolog ini terhadap korban kekerasan berawal dari tahun 2011.

Saat itu dalam perjalanan pulang dari sebuah meeting, Ibu Wulan membuka Twitter dan membaca banyak candaan seputar pemerkosaan. Padahal belum lama, ada berita menyedihkan tentang seorang mahasiswi yang diperkosa dan meninggal di angkutan umum.

"Di satu sisi tentunya marah ya, kok isu seperti ini dijadikan candaan. Tapi di sisi lain, itu sebenarnya refleksi masyarakat kita. Berarti perlu edukasi yang lebih," kisah Ibu Wulan.

Malam hari, ia kemudian menulis banyak tentang apa yang sebenarnya dihadapi oleh korban perkosaan, termasuk berbagai trauma yang harus mereka alami.

Tak disangka, cuitannya di Twitter mendapat ribuan respons. Ternyata, banyak orang yang sebenarnya tidak suka dengan dijadikannya isu perkosaan sebagai bahan candaan namun tidak tahu harus berbuat apa. Mereka inilah yang menurut Ibu Wulan dapat menjadi agen informasi yang memberi pencerahan kepada masyarakat.

Ia bersama Driana Rani Handayani (blogger) dan dr. Sophia Hage (dokter spesialis olahraga) kemudian memutuskan mendirikan kelompok dukungan terhadap penyintas kekerasan seksual yang diberi nama Lentera Sintas Indonesia.

Ibu Wulan melihat stigma masih melekat kuat di masyarakat. Bahkan saat melaporkan kekerasan seksual, perempuan kerap disalahkan dengan berbagai dalih. Mulai dari busana yang dikenakan, keperluan keluar di malam hari, dan banyak pertanyaan yang justru menyudutkan.

Ketiganya memutuskan untuk membentuk kelompok dukungan yang memberi pendampingan psikososial bagi penyintas kekerasan seksual, terutama mereka yang sudah tidak menjalani proses hukum namun harus berhadapan sendiri dengan pemulihan trauma.

Banyak orang datang kepada Ibu Wulan dan kawan-kawan yang ternyata memiliki pengalaman kekerasan seksual di masa kecil mereka. Setelah belasan tahun, mereka baru berani menceritakannya.

Namun ibarat luka yang mereka tutupi begitu saja, ketika mereka mengungkit kembali kisah pilu itu, dampak psikologisnya sangat luar biasa. Dan ketika luka itu tidak diobati dengan baik, akibatnya adalah disfungsional atau gangguan dalam kehidupan.

Sadar bahwa tak semua penyintas mau bercerita secara langsung, Ibu Wulan juga memanfaatkan saluran telepon (hotline counseling). Diharapkan mereka tidak merasa sungkan untuk mau bercerita dan bisa mendapat pendampingan yang dibutuhkan.

Karena itulah Ibu Wulan berupaya sekuat tenaga agar program tersebut dapat menjadi komunitas yang aman dan bisa dipercaya oleh para korban maupun penyintas.

Para penyintas yang sudah bergabung sejak lama kemudian juga aktif menjadi pendamping. Karena menurut Ibu Wulan, mereka tentu lebih memahami bagaimana perasaan para korban. Diharapkan mereka dapat menenangkan dan memberi dukungan psikososial berdasarkan pengalaman pribadi mereka dalam menyembuhkan trauma.

Yang juga harus diapresiasi adalah inisiatif Ibu Wulan untuk mengaplikasikan kepedulian terhadap korban kekerasan dengan mengoptimalkan rumah aman 'organik' dengan mengoptimalkan lingkungan sekitar.

Menurut Ibu Wulan, satu wilayah (RW) bisa menciptakan rumah aman dengan memanfaatkan peran warga. Mereka bisa mendiskusikan rumah siapa saja yang memiliki kamar lebih untuk dipakai sebagai tempat perlindungan, mobil siapa yang bisa digunakan untuk mengantar korban melapor atau ke rumah sakit dan siapa yang menjadi sopir siaga, juga siapa di antara warga yang menjadi pendamping korban.




Tetap Aktif di Usia 83 Tahun, Ros Yusuf Sekolahkan Anak Yatim Piatu dan Dhuafa Demi Pendidikan yang Adil Merata

Sebelumnya

Henny Christiningsih, Membawa UMKM Batik Go Global

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Paras Jakarta