Jaya Suprana/Ist
Jaya Suprana/Ist
KOMENTAR

SUDAH sewajarnya kelirumologi, humorologi, alasanologi, malumologi, andaikatamologi, kirakiramologi, dan lain-lain logi-logi, termasuk  bingungologi, dicemooh.

Sama wajarnya gagasan bersifat baru seperti ketika Cristoforo Columbus menggagas berlayar ke arah Barat untuk bisa ke India tanpa lewat Timur. Galileo Galilei ngotot bilang bukan matahari mengitari dunia tetapi sebaliknya.

Pun Charles Darwin gegabah mengungkap gagasan seleksi alam, Albert Einstein kreatif berimajinasi tentang ruang-waktu. Atau sekelompok pemusik muda Liverpool yang menamakan diri sebagai 'The Beatles' mencoba memperkenalkan gagasan musik gaya baru, juga semula harus siap dicemooh.

Tao

Seharusnya yang menyemooh bingungologi juga menyemooh pemikiran Tao yang secara membingungkan bertumpu pada kebingungan tentang siapa sebenarnya Lao Tse.

Apakah Lao Tse seorang manusia yang sedang bermimpi menjadi kupu-kupu atau seekor kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi seorang manusia yang sedang bermimpi menjadi kupu-kupu, merupakan pertanyaan yang mustahil dijawab kecuali dipaksakan.

Masalah potensial makin membingungkan apalagi dipertanyakan kenapa contoh kebingungan harus hadir sebagai kebingungan manusia bermimpi menjadi kupu-kupu.

Kenapa tidak kuda nil atau kecoak? Akibat diskriminasi mahluk hidup? Atau karena apa?

Meski pertanyaan-pertanyaan terkesan seolah sengaja dicari-cari sebagai rekayasa mengaburkan pertanyaan aslinya, yaitu mengenai bingungologi Tao tentang Lao Tse kebingungan bermimpi menjadi kupu-kupu atau kupu-kupu kebingungan bermimpi menjadi Lao Tse bermimpi menjadi kupu-kupu, bikin saya merasa diperlakukan tidak adil dalam menggagas bingungologi.

Sementara, akibat bingung, Lao Tse dipuja-puja sebagai landasan pemikiran peradaban Timur, namun saya malah dihujat sebagai tua bangka kurang kerjaan yang diragukan kewarasannya.

The End of Logic

Ilmu psikoanalisa yang dengan susah payah digagas oleh Sigmund Freud ditertawakan dalam bentuk lelucon mengganti bola lampu: Berapa banyak psikoanalisis dibutuhkan untuk mengganti sebuah bola lampu?

Cukup seorang saja asal di bawah sadar sang bola lampu memang bersedia untuk diganti!

Meski sudah terbukti pemikiran Sigmund Freud membingungkan namun beliau tetap dihormati sebagai Bapak Psikologi, sementara tidak ada yang sudi menghormati saya sebagai Bapak Bingungologi!

Lain halnya dengan bingungologi versi Senior Researcher Center for the Study Of Language and Communication, Prof Keith Devlin (bukan Devil!) yang saking bingungnya kemudian menulis buku berjudul provokatif "Goodbye Descrates" sebagai penggagas cogito ergo sum yang pada hakikatnya merupakan pengembangan bingungologi versi Lao Tse.

Kita tidak perlu membaca isi buku tersebut sebab dari sub judul "The End of Logic and The Search For A New Cosmology of The Mind"  sudah langsung jelas bahwa niat Prof Keith Devil eh Devlin memang murni bertujuan membingungkan kita semua.

"The End of Logic" logikanya sudah cukup membingungkan sambil menjengkelkan para logikawan. Mirip Nietzche ketika memvonis 'Tuhan Sudah Mati' masih ditambah kebingungan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan A New Cosmology of The Mind yang apabila ada yang New berarti ada yang Old seperti diri saya sekarang ini.

Makin membingungkan bahwa buku bingungologis sang mahamatematikawan dekan School of Science St. Mary’s College itu alih-alih dihujat malah dipuji oleh Washington Post dengan pujian touristik “Magnificent and a delightful tour”.

Makin makin dibingungkan Wall Street Journal dengan puja-puji membingungkan “A masterly survey of Aristotelean and Stoic logic, of George Boole’s 19th century, algebra of thought and the contemporary project to produce a talking computer”.

Penulis adalah pembelajar bingungologi.




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana