Bust Ki Nartosabdo di Auditorium Ki Nartosabdo, Jaya Suprana Institute, Kelapa Gading, Jakarta Pusat.
Bust Ki Nartosabdo di Auditorium Ki Nartosabdo, Jaya Suprana Institute, Kelapa Gading, Jakarta Pusat.
KOMENTAR

BUDAYAWAN dan pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jaya Suprana sedang memperjuangkan Ki Nartosabdo agar menjadi Pahlawan Nasional.

Walau hanya belajar sekitar 1,5 tahun pada Ki Nartosabdo, namun Jaya Suprana mengakui kehebatan Ki Nartosabdo sebagai seorang maestro musik.

“Dari beliau saya memahami bahwa musik jauh lebih luas dari sekadar piano yang saya pelajari di Jerman,” ujar Jaya Suprana.

Jaya Suprana juga mengatakan, dalam sebuah pertunjukan di Selandia Baru, penyelenggara bertanya mengapa yang hadir bukan gurunya Ki Nartosabdo.

“Saat itu saya menyadari bahwa Ki Nartosabdo begitu dihormati di luar negeri. Jangan sampai nanti kita ketinggalan dalam memberikan penghormatan padanya,” ujar Jaya Suprana lagi.

Menurut Jaya Suprana, dirinya telah memperkenalkan kisah Ki Narsosabdo kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan berharap pemerintah mau memberikan penghormatan yang layak dan mengakuinya sebagai Pahlawan Nasional seperti WR Supratman, Ismail Marzuki, Kusbini, dan juga Ibu Sud.

Sedemikian hormat pada Ki Nartosabdo, Jaya Suprana menggunakan nama Ki Nartosabdo untuk auditorium di Jaya Suprana Institute di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Di auditorium itu, Jaya Suprana menggelar berbagai pertunjukan kesenian dan kebudayaan, baik yang berasal dari dunia Barat seperti resital piano dan tarian tango, maupun yang dari Indonesia seperti keroncong dan gamelan.

Sebuah patung setinggi dada atau bust Ki Nartosabdo berukuran besar juga diletakkan di teras Auditorium Ki Nartosabdo.

Ki Nartosabdo yang memiliki nama asli Soenarto lahir di Klaten, 25 Agustus 1925. Perekonomian keluarganya yang sulit memaksa dia putus sekolah dalam masa pendidikan di Standaard School Muhammadiyah.

Dengan bakat seni yang dimilikinya, Soenarto muda menekuni kegiatan kesenian dari melukis, memainkan biola sampai tampil dalam orkes keroncong Sinar Purnama yang terkenal pada masanya, dan tentu saja menjadi dalang.

Pada tahun 1945, Soenarto bertemu dengan pendiri grup Wayang Orang Ngesti Pandowo dan belajar dari pimpininan grup wayang orang itu, Ki Sastrosabdo. Sang gurulah yang melekatkan kata Sabdo di belakang nama Soenarto. Sejak 1948 dia dikenal sebagai Ki Nartosabdo.

Namanya mulai terkenal saat tampil di Jakarta pada 28 April 1958 dalam satu pementasan wayang kulit yang disiarkan RRI.

Meninggal dunia pada 7 Oktober 1985, Ki Nartosabdo menghasilkan setidaknya 319 lelagon (lagu) atau gendhing. Di antaranya Caping Gunung, Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prahu Layar, Ngundhuh Layangan, Aja Diplèroki, dan Rujak Jeruk.

 




Kemendikdasmen Luncurkan Gerakan Numerasi Nasional: Langkah Bersama Mencerdaskan Anak Bangsa

Sebelumnya

BMKG: Waspadai Hujan Ringan hingga Petir di Sejumlah Wilayah Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News