PEMBELAJARAN jarak jauh (PJJ) atau lebih dikenal dengan home learning atau daring (dalam jaringan), rupanya membuat anak rentan terpapar konten pornografi. Jika sebelumnya anak hanya boleh memegang handphone (HP) hanya saat libur, namun sekarang lebih dari 6 jam anak memelototi HP. Bahkan di hari libur, bisa lebih dari 11 jam.
Menurut psikolog Retno Lelyana Dewi, S.Psi, M.Pd akibat hal ini ada risiko kekerasan seksual yang mudah menimpa anak. Bahkan pelajar semakin mudah mengakses konten-konten pornografi di mana saja.
"Sebanyak 421.388.462 pelajar di 39 negara saat ini melakukan pembelajaran jarak jauh. Dari data) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, survey yang dilakukan pada siswa tingkat SMP-SMA di Jakarta dan Pandeglang pada 2017 terkuak sebuah fakta bahwa, 94% sudah pernah mengakses konten yang berbau pornografi," ungkap Retno dalam Seminar Online: Pembelajaran di Rumah dan Risiko Paparan Konten Pornografi, yang diselenggarakan oleh Biro Psikologi Rumah Cinta, Minggu (9/8).
Yang lebih mengejutkan, KPAI mencatat pengaduan kasus pornografi dan Cyber crime sejak 2015 hingga 2018 meningkat tajam, dari 463 kasus menjadi 679 kasus. Bahkan riset UNICEF pada 2009 mengungkap, ada 98,3% anak dan remaja yang memiliki akses ke perangkat seluler. Mereka menghabiskan waktu 5 jam/hari bahkan hingga 7 jam/hari saat libur. Angka ini diyakini meningkat, khususnya saat pandemi.
"Manusia memiliki Pre Frontal Cortex (PFC) yang berfungsi atau bertanggung jawab membuat pemiliknya lebih berkonsentrasi, mengatur soal benar dan salah, serta membentuk kepribadian. Ketika anak sudah terpapar gambar atau video pornografi, maka akan terjadi trauma di mana dopamin akan memenuhi otak sehingga anak menjadi susah berkonsentrasi. Parahnya, anak akan mengalami ketagihan dan tidak ada lagi rasa malu-malu atau takut ketika ketahuan sedang mengakses konten pornografi," jelasnya.
Kondisi ini sama ketika seseorang mengalami benturan fisik dan berada di bawah pengaruh obat-obatan terlarang. Pada kasus pornografi, anak bisa pada tahap merasa ketagihan dan menjadi pelanggan seumur hidup. Bahkan pada beberapa kasus mereka akan mencoba bermasturbasi, mencari pasangan sejenis, bahkan bergonta-ganti pasangan. Sebab yang ada di otaknya hanyalah bagaimana bisa berhubungan badan.
Konten pornografi paling banyak ditemukan di internet (57%), komik (43%), media sosial (34%), buku (26%), majalah (19%), dan permainan (4%). Dan tempat yang paling mudah untuk mengakses konten tak senonoh itu adalah rumah (91%), sekolah (19%), dan fasilitas umum (11%).
"Di sini, perlu pengawasan ketat dari orangtua. Lihat histori gadget usai anak menggunakannya, dan sebisa mungkin kurangi kedekatan anak dengan seluler dengan cara sesering mungkin melakukan aktivitas fisik bersama. Intinya, lindungi generasi kita dari bencana pornografi dan kekerasan seksual," pesan psikolog forensik ini.
KOMENTAR ANDA