Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

WABAH virus corona atau Covid-19 yang saat ini menjadi musuh bersama dunia menyebabkan banyak sektor kehidupan terganggu. Bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial, termasuk urusan rumah tangga.

Di China, pasca masa karantina serta tindakan tegas pemerintah untuk melakukan lockdown untuk mengerem penyebaran virus corona selama beberapa minggu, ada "fenomena" menarik yang muncul, yakni meningkatnya angka perceraian.

Pasca wabah virus corona semakin terkendali dan jumlah penularan menurun drastis, serta kegiatan sehari-hari mulai berangsur normal, kantor pendaftaran perkawinan di China justru kebanjiran pendaftaran. Bukan untuk menikah, melainkan untuk bercerai.

Ambil contoh apa yang terjadi di wilayah Dazhou, Provinsi Sichuan di barat daya China. Manajer pendaftaran perkawinan di wilayah tersebut, Lu Shijun pada pertengahan bulan Maret kemarin menjelaskan, ada lebih dari 300 pasangan yang menjadwalkan janji untuk perceraian sejak 24 Februari lalu.

Para pejabat meyakini, lonjakan perceraian itu kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa banyak pasangan menghabiskan terlalu banyak waktu di dalam rumah selama masa karantina.

"Tingkat perceraian (di distrik) telah melonjak dibandingkan sebelum (wabah virus corona)," kata Lu, seperti dimuat Daily Mail.

Lantas, sebenarnya apa kaitannya wabah virus corona dengan tingkat perceraian yang tinggi di China?

Legal Conslutant, Citra Judexinova, S.H., M.Kn. menjelaskan kepada Farah awal pekan ini soal situasi tersebut.

"Terkait situasi dan kondisi di tengah pandemi Covid-19 saat ini, dampak yang ditimbulkan salah satunya terhadap asek kehidupan keluarga bukanlah hal yang tidak mungkin," jelas Citra.

"Bagaimana tidak, setiap keluarga harus survive dengan kondisi yang tidak seperti biasanya, di tengah kebijakan pemerintah untuk lockdown (di China), ataupun Work From Home (WFH) serta social distancing di ruang publik," sambungnya.

Padahal, di zaman modern seperti saat ini, jelas Citra, tinggal di rumah untuk waktu yang cukup lama, berkurangnya waktu yang signifikan untuk bersosialisasi, pasti memberikan tekanan psikis bagi sebagian besar orang. Kecuali bagi mereka yang memang sudah terbiasa atau senang berlama-lama di rumah.

"Bagi mereka yang sudah berkeluarga, pastinya menghadapi tantangan baru untuk melakukan aktivitas yang tidak seperti biasanya, baik di antara pasangan suami istri itu sendiri, maupun di antara suami-istri dan anak-anak mereka," ujar Citra.

Karena itulah, berkaca pada apa yang terjadi di China, menurut Citra, setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingkat perceraian tinggi di tengah wabah virus corona.

Pertama, adanya tekanan keuangan dan pekerjaan, serta masalah kesehatan yang disebabkan oleh wabah virus corona.

Kedua, adanya pembatasan kebebasan yang diterapkan oleh pemerintah setempat yang memberikan tekanan psikis dalam diri masing-masing, baik suami maupun istri.

"Sehingga memicu ketegangan serta ketidaknyamanan satu sama lain," jelas Citra.

Ketiga, ketegangan antara suami dan istri selama homebound juga mungkin dipicu oleh masalah yang sudah ada sebelumnya.

"Ketiga faktor tersebut merupakan dampak tidak langsung dari wabah Covid-19, di samping dari dampak langsung yakni kematian yang otomatis juga menyebabkan perceraian, atau jika dijelaskan menurut hukum perkawinan, yaitu putusnya perkawinan akibat meninggalnya salah satu dari suami atau istri," tutup Citra.




Memilih Alpukat yang Tepat untuk Disantap

Sebelumnya

Tak Perlu Dicuci, Ini Cara Membersihkan Daging Sebelum Dimasak

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Family