KOMENTAR

SAYA pribadi menghayati UU Penistaan Agama secara ambivalen. Di satu sisi mensyukuri, di sisi lain prihatin.

Syukur

Di satu sisi, saya mensyukuri UU Penistaan Agama sebagai upaya menangani kasus-kasus yang dilaporkan sebagai penistaan agama demi menghindari perilaku kekerasan dilakukan oleh warga yang merasa agamanya dinista.

Dampak buruk anggapan penistaan agama yang tidak ditangani oleh hukum telah nyata terbukti terjadi pada kasus Charlie Hebdo di Paris, Prancis. Masalah penistaan agama tanpa aturan hukum terbukti telah memicu perilaku main hakim sendiri sehingga menelan korban nyawa warga sampai polisi di kota yang kerap dianggap paling romantis pada peradaban umat manusia itu.

Secara empiris-historis juga telah terbukti tak terhitung jumlah korban nyawa akibat tidak adanya UU Penistaan Agama di abad pertengahan yang kerap disebut sebagai abad kegelapan.

Secara sepihak berdasar kekuasaan semata, hukuman mati dijatuhkan kepada mereka yang dituduh telah melakukan penistaan agama oleh pihak yang sedang berkuasa.

Logika hukuman adalah logika dogmatis sang penguasa secara gue-mau-begini-lu-mau-apa alias tidak bisa diganggu-gugat.

Jalur hukum jelas lebih beradab ketimbang jalur kekerasan apalagi pembinasaan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesama manusia.

Prihatin

Di sisi lain, saya prihatin atas hukuman penjara yang dijatuhkan terhadap para terpidana penistaan agama. Hukuman penjara bagi terpidana penistaan agama tidak adil akibat terlalu berat di samping tidak produktif untuk kepentingan masyarakat.

Yang lebih adil, lebih produktif maka lebih beradab ketimbang hukuman penjara bagi para terpidana penistaan agama adalah hukuman kerja sosial. Ketimbang meringkuk di dalam penjara atas biaya negara, bangsa dan rakyat Indonesia tanpa memberikan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, adalah lebih produktif apabila seorang terpidana penistaan agama menerima hukuman kerja sosial sebagai bentuk nyata pertobatan yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Misalnya, kerja sosial ikut membangun rumah ibadah agama yang dinista, merawat kebersihan dan bangunan rumah ibadah agama yang dinista, bekerja di rumah-rumah jompo, asrama yatim-piatu atau rumah-sakit untuk meringankan beban derita sesama warga Indonesia, bekerja con amore membersihkan sampah dan menjaga kebersihan kota serta lain-lain kerja sosial nyata yang lebih selaras dengan sukma adiluhur yang terkandung di dalam sila Kemanusiaan Adil dan Beradab. Merdeka!

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana