Ilustrasi gadis Jepang berkimono/Pixabay
Ilustrasi gadis Jepang berkimono/Pixabay
KOMENTAR

JEPANG berupaya menghapus stigma bagi perempuan di dunia sains; bahwa perempuan pintar tidak menikah. Salah satu penyebabnya, mereka berpikir bahwa berkeluarga dan mempunyai anak akan membuat karier sebagai peneliti berumur pendek.

Tak ayal, banyak orang tua dan keluarga mencoba menjauhkan anak-anak perempuan mereka dari STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). STEM dianggap membuat perempuan terlalu sibuk bekerja hingga lupa mencari jodoh.

Jepang—yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara inovator di bidang teknologi, ternyata dipusingkan dengan prediksi kekurangan 790.000 pekerja pada tahun 2030, yang sebagian besar disebabkan kurangnya keterwakilan perempuan.

Para ahli memperingatkan penurunan inovasi, produktivitas, dan daya saing untuk negara yang tumbuh menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia dalam beberapa waktu terakhir.

“Tanpa keseimbangan gender, teknologi akan memiliki blind spot dan kekurangan yang signifikan,” ujar Yinuo Li, seorang profesor asal Cina bergelar PhD dalam biologi molekuler yang sedang berada di Jepang dalam program pertukaran budaya mengatakan

Jepang menempati urutan terakhir di antara negara-negara kaya dengan hanya 16 persen mahasiswi universitas jurusan teknik, manufaktur, dan konstruksi, dan hanya ]satu ilmuwan perempuan untuk setiap tujuh orang.

Jepang sedang dalam misi untuk menutup kesenjangan tersebut. Untuk tahun akademik yang dimulai pada tahun 2024, sekitar selusin perguruan tinggi akan memperkenalkan kuota bagi siswa perempuan STEM.

Hal itu merupakan kebalikan dari apa yang dilakukan sekolah kedokteran Tokyo yang sengaja menurunkan nilai tes masuk perempuan. Pejabat sekolah merasa perempuan lebih cenderung berhenti bekerja setelah memiliki anak dan akan menyia-nyiakan pendidikan mereka.

Bertujuan untuk mengubah sikap, pemerintah beberapa bulan lalu membuat video untuk menunjukkan kepada para pendidik dan orang dewasa lainnya bagaimana "bias bawah sadar" menghalangi anak perempuan untuk mengejar studi STEM.

Biro Kesetaraan Gender pemerintah akan mengadakan lebih dari 100 lokakarya dan acara STEM yang terutama menargetkan siswa perempuan pada musim panas. Mereka pun telah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan besar seperti Mazda, Mitsubishi Heavy Industries, juga Toyota dan Panasonic untuk pendidikan calon insinyur. Hal ini dilakukan mengingat kelangkaan insinyur perempuan yang benar-benar tidak wajar.

Kurangnya keragaman gender dalam bisnis teknologi—terlebih lagi untuk produk rumah tangga ternyata berdampak buruk bagi inovasi produk. Karena itulah Jepang berusaha menghapus stigma perempuan pintar tidak menikah.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News