MEMASUKI usia remaja, khususnya jenjang SMP dan SMA, anak-anak mulai memasuki fase penuh tuntutan—ujian beruntun, tugas menumpuk, ekspektasi orang tua dan guru, hingga tekanan dari lingkungan sosial. Tak jarang, semua ini membuat mereka kelelahan secara mental maupun emosional, bahkan hingga burn out.
Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan, bukan untuk menambah beban, melainkan menjadi tempat berpulang yang aman.
Berbicaralah dari hati ke hati. Temui anak di waktu yang tenang—bukan saat ia baru selesai ujian atau sedang kelelahan. Ciptakan suasana nyaman, tanpa menghakimi.
Tanyakan bagaimana perasaannya, apa yang ia rasakan akhir-akhir ini, dan dengarkan tanpa buru-buru memberi solusi. Validasi emosinya, karena bagi remaja, merasa dimengerti jauh lebih menenangkan daripada diceramahi.
Tekankan bahwa yang terpenting adalah proses—bagaimana ia berusaha dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar hasil akhir. Dorong anak untuk melakukan yang terbaik (do your best), tapi bukan dengan mengorbankan kesehatan fisik maupun mental. Ingatkan bahwa cukup tidur, makan bergizi, dan punya waktu istirahat juga bagian dari usaha meraih prestasi.
Bantu anak memahami bahwa prestasi bukan hanya soal angka atau nilai akademik. Menjadi pribadi yang bertanggung jawab, punya integritas, mampu berempati, dan tahu kapan harus beristirahat juga adalah bentuk pencapaian yang patut dibanggakan.
Namun, tetap tekankan pentingnya totalitas. "All out" bukan berarti memaksakan diri sampai jatuh, tapi memberi yang terbaik sesuai kapasitas—dengan strategi, waktu istirahat, dan dukungan yang seimbang.
Di tengah kerasnya dunia pendidikan saat ini, anak tak butuh orang tua yang sempurna—mereka butuh orang tua yang hadir, mendengar, dan mengingatkan bahwa nilai tak harus selalu sempurna, tapi semangat dan kesehatan jiwa harus tetap dijaga.
KOMENTAR ANDA