KOMENTAR

PERCERAIAN memang sulit diterima oleh siapa pun, dan tidak kalah sulit pula untuk memahami perpisahan antara Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah. Terlebih Rasulullah sudah berjuang mengupayakan perdamaian keduanya, tapi perpisahan itu tetap saja terjadi.

Dengan turun tangannya Nabi Muhammad seharusnya membantu kita memahami bahwa ada hal-hal prinsip yang menyebabkan ketidakcocokan tersebut berakhir dengan perceraian. Dan boleh jadi memang ada rahasia Ilahi di balik itu semua yang belum ternalar oleh logika manusia.

Abdurrahman Umairah dalam bukunya Tokoh-tokoh yang Diabadikan Al-Qur’an Volume 2 (2000: 243) menerangkan:

Rasulullah menasihati Zaid agar tidak menceraikan Zainab. Mudah-mudahan hubungan dengannya akan membaik. Beliau bersabda, “Hai Zaid, janganlah mencerai istrimu dan bertakwalah kepada Allah.”

Segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah Yang Mahakuasa. Di tangan-Nyalah kejadian akhir segala perkara. Segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan pengarahan Tuhan. Sebab pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab, pada hakikatnya merupakan hukum yang diformalkan dengan ayat.

Di balik kepedihan Rasulullah atas perceraian Zainab dan Zaid, ternyata ada sebuah rahasia besar yang telah dipersiapkan oleh Tuhan. Sebelumnya, pernikahan Zainab dan Zaid sudah berhasil menghapus tradisi jahiliah yang merendahkan status mantan budak. Sehingga pernikahan Zainab teramat revolusioner dan juga cara spektakuler dalam rangka menghapus perbudakan itu sendiri.

Setelah misi mulia itu sukses, ada lagi suatu agenda lainnya yang tidak kalah agung, yaitu Zainab diproyeksikan oleh Tuhan menghentikan suatu tradisi jahiliah yang tidak bisa dibenarkan agama.

Dalam Islam, seorang anak angkat tidak dianggap memiliki hubungan darah dengan orangtua angkatnya, sehingga tidak mendapatkan warisan dan hubungan kekeluargaan lainnya. Karena anak angkat tidak akan pernah menjadi seperti status anak kandung.

Meski pun Zaid yang diasuh oleh Rasulullah sejak kecil disebut-sebut orang sebagai Zaid bin Muhammad, tetap saja dia bukanlah keturunan beliau. Hakikatnya Zaid adalah putra Haritsah dan tidak punya hubungan darah dengan Rasulullah. Sementara itu tradisi jahiliah menyamakan status anak angkat dengan anak kandung, sesuatu yang menyimpang dari aturan Islam.

Agenda perubahan sosial tersebut melibatkan peran penting Zainab binti Jahsy, dan Allah memerintahkan Rasulullah untuk menikahi mantan istri dari anak angkatnya tersebut. Hanya saja tradisi jahiliah yang menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Sehingga mereka melarang dan mengecam pernikahan dengan perempuan yang merupakan mantan istri dari anak angkatnya.

Islam mendorong perubahan sosial yang adil dan menghapus diskriminasi. Zainab dengan bijaksana melibatkan dirinya dalam proses tersebut, menunjukkan kepada umat pentingnya menghormati prinsip-prinsip Islam yang menghargai martabat dan kesetaraan manusia, termasuk dalam konteks perceraian dan mantan istri dari anak angkat.

 Surat al-Ahzab ayat 37, yang artinya:

(Ingatlah) ketika engkau (Nabi Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Pertahankan istrimu dan bertakwalah kepada Allah,’ sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti. Maka, ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Sayyid Quthb pada Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 18 (2004: 104) menerangkan:

Ayat tentang halalnya menikahi janda anak angkat belum lagi turun. Dan, karena kasus kejadian pernikahan Rasulullah dengan Zainablah yang menetapkan bahwa seseorang boleh menikahi janda bekas anak asuhnya sebagai kaidah hukum yang baru.

Ini merupakan salah satu biaya dan ongkos risalah yang harus ditanggung oleh Rasulullah di antara beban-beban lainnya. Beliau harus menghadapi perlawanan masyarakat yang membenci beliau. Sehingga, Rasulullah sempat dibuat ragu-ragu dalam menghadapi mereka dengan ketentuan kaidah baru itu.

Terhadap urusan Allah, tidak seorang pun dapat menentangnya dan tidak seorang pun dapat melarikan diri daripadanya. Perintah Allah pasti terjadi dan terealisasi, sedikit pun tidak akan dilanggar oleh seorang pun dan tidak mungkin seorang pun menyimpang darinya.

Surat al-Ahzab ayat 38, yang artinya, “Tidak ada keberatan apa pun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunah Allah pada (nabi-nabi) yang telah terdahulu. Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku.”

Alangkah beratnya beban psikologis yang mesti dipikul oleh Rasulullah dan juga Zainab, sebab perjodohan mereka yang ditetapkan Tuhan menjadi bahan caci maki dari pihak pemegang tradisi jahiliah.

Dari zaman jahiliah sampai era modern pun tidak sedikit kecaman terhadap beliau, yang di antaranya menuduh Rasulullah menikahi mantan istri anak angkat atas dasar gejolak hasrat birahi. Bahkan ada pula yang tega menuduh Rasulullah biang kerok dari perceraian anak angkatnya demi menikahi Zainab.

Abdurrahman Umairah (2000: 244-245) menjelaskan:

Imam Ahmad, Muslim, dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Anas, dia berkata bahwa setelah iddah Zainab habis, Rasulullah saw. bersabda kepada Zaid, “Sampaikanlah kabar kepadanya tentang aku.”

Zaid berkisah, aku kemudian pergi dan berkata, “Hai Zainab, bergembiralah! Rasulullah mengirimkan utusannya untuk menyampaikan kabar kepadamu.”

Zainab berkata, “Aku tidak akan melakukan apa pun sebelum disuruh oleh Tuhanku.” Zainab pergi menuju tempat salatnya. (HR. Ahmad)




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tafsir