KOMENTAR

HINGGA beberapa pekan ke depan, kebutuhan terhadap produk bakery semisal roti, biskuit, pie, pastry, dan lainnya akan melonjak. Terlebih lebaran yang kita rayakan akan terasa kurang meriah tanpa kehadiran produk makanan berkomposisi tepung tersebut. Dengan demikian kebutuhan terhadap tepung gandum dijamin akan terus meningkat pula.

Sulit sekali untuk tidak menghubungkan semarak Ramadan apalagi Idul Fitri dengan tepung. Berbagai jenis masakan tidak terlepas dari bahan tepung. Hanya saja tepung yang beredar tidak lagi murni, melainkan sudah diwajibkan menjalani proses fortifikasi.

Nia Novita Wirawan, dkk. dalam buku Metode Perencanaan Intervensi Gizi di Masyarakat (2018: 164) menguraikan:

Fortifikasi terigu mulai tahun 1999 dan tahun 2001 yang bersifat wajib atau mandatory dan hal ini didukung dengan SNI yang mewajibkan melakukan fortifikasi tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 (SK Mentri Perindustrian dan Perdagangan No. 153 Tahun 2001) Fortifikasi wajib oleh pemerintah terhadap pangan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi masyarakat.

Sungguh mulia tujuan diwajibkannya fortifikasi beberapa produk pangan, terkhusus tepung, karena memberikan nilai gizi bagi segenap masyarakat.

Tatkala mengonsumsi bahan pangan tepung terigu misalnya, maka rakyat jelata sekalipun sudah sekaligus menyantap zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 yang memang bermanfaat bagi tubuh.

Betapa mulianya ketentuan diwajibkannya fortifikasi ini, dan sepintas segalanya baik-baik saja. Bukankah gizi itu sangat bermanfaat!

Akan sangat sulit sekali bagi siapa pun menghindari konsumsi tepung. Oleh sebab itulah pembahasan terkait tepung terigu menjadi sangat terang urgensinya, tidak boleh dipandang sebelah mata, terlebih sudah terjadi proses fortifikasi.

Ternyata sudah ada regulasi ketat yang memagari fortifikasi tepung. Nia Novita Wirawan, dkk. (2018: 164) mengungkapkan:         

Berikut ini adalah syarat makanan yang ditetapkan untuk melakukan fortifikasi wajib pada pangan tertentu adalah:

a. Jenis makanan yang dimakan secara teratur dan terus-menerus khususnya masyarakat miskin dan selalu ada di setiap rumah tangga.

b. Makanan diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya.

c. Tersedianya teknologi fortifikasi.

d. Setelah difortifikasi, makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi.

e. Tetap aman.

f. Harga makanan tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran setelah difortifikasi. 

Syarat-syarat yang cukup ketat itu membuktikan betapa seriusnya upaya melindungi masyarakat. Terlebih tepung yang difortifikasi itu menyebar di segala lapisan masyarakat, dan konsumen membutuhkan ketegasan dalam perlindungan.

Hanya saja masih ada yang terluput, yaitu terjaminnya produk tepung fortifikasi itu dari bahan-bahan yang diharamkan agama. Penambahan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 hendaknya berlandaskan standar kehalalan yang terukur. Tidak bisa lekas berpuas diri dengan memacu aspek gizi tetapi mengabaikan kewajiban konsumen muslim dalam menyantap hanya yang halal.

Sekilas tepung aman-aman saja untuk kajian kehalalan, tetapi begitu sudah ditambahkan dengan berbagai bahan maka di sanalah titik kritisnya mulai meresahkan.  

Titis Sari Kusuma, dkk. dalam buku Manajemen Sistem Penjaminan Produk Halal Instalasi Gizi Rumah Sakit (2023: 55) menguraikan:

Titik kritis tepung terigu berasal dari bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam formulasinya seperti vitamin. Apabila vitamin yang ditambahkan berasal dari vitamin yang diproduksi secara mikrobiologi menggunakan media yang tidak halal, maka terigu yang dihasilkan menjadi haram.

Selain itu dalam terigu juga dapat ditambahkan dengan asam amino L-sistina yang berfungsi meningkatkan volume dan meningkatkan kehalusan tepung. L-sistina dapat diperoleh dari gluten gandum dan dikhawatirkan yang digunakan berasal dari ekstrak rambut manusia. Apabila hal tersebut terjadi maka hukumnya menjadi haram.

Tambahan vitamin sebenarnya bagus-bagus saja, tetapi jika bahannya berasal dari yang haram, jelas tidak dapat diterima oleh konsumen muslim. Apalagi jika bahan yang dicampurkan ke tepung itu berupa ekstrak dari rambut manusia. Itu jelas semakin tidak bisa dibenarkan.

Penambahan vitamin-vitamin dan mineral justru menjadi titik kritis tepung, karena bisa berasal dari tumbuhan atau hewan atau produk mikrobial. Apabila fortifikasinya dari bahan hewan yang diharamkan, maka produk tepung itu menjadi haram pula bagi umat Islam.




Pig Skin yang Sedang Viral, Halalkah Dipakai untuk Umat Muslim?

Sebelumnya

Ternyata Siomay Bisa Saja Haram

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Halal Haram