KOMENTAR

BETAPA geramnya publik menyaksikan debt collector yang menarik paksa mobil mewah seorang pesohor dunia maya, dan yang bikin kaget polisi yang melerai malah kena hardik. Kejadiannya sudah berlalu bersama waktu, tetapi masalahnya belum juga usai.

Ternyata oh ternyata, memang banyak yang bersimpati terhadap korban debt collector, dan boleh jadi pemantiknya disebabkan banyak orang yang terjerat utang lalu megap-megap saat tak kuat melunasinya.

Kisah utang piutang memang sangat sulit menemukan ending, karena memang lebih sulit lagi hidup tanpa berutang. Islam pun membolehkan umatnya terlibat dalam utang piutang, tetapi fikih memberikan tuntunan yang patut ditaati.

Surat al-Hadid ayat 11, yang artinya, “Siapakah yang (mau) memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik? Dia akan melipatgandakan (pahala) untuknya, dan baginya (diberikan) ganjaran yang sangat mulia (surga).

Pada ayat ini orang yang memberikan pinjaman memperoleh suatu kemuliaan dari Tuhan, sebab dirinya telah meringankan kesulitan yang dialami hamba Allah yang lain. Sementara Nabi Muhammad saw. juga turut memberikan sanjungan terkait qardh atau pinjaman.

Ahmad Wardi Muslich dalam buku Fiqh Muamalat (2022: 277) menjelaskan:

Dari Abdullah ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Barang siapa yang memberikan utang atau pinjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala salah satunya andai kata ia menyedekahkannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Di dalam hadis dijelaskan bahwa memberikan utang atau pinjaman dua kali nilainya sama dengan memberikan sedekah satu kali. Ini berarti bahwa qardh (memberikan utang atau pinjaman) merupakan perbuatan yang sangat terpuji karena bisa meringankan beban orang lain.

Hanya saja, di era milenal begini berutang itu kok terasa terlalu mudah ya?

Kendati teramat mudah berutang, tetapi utang piutang malah menimbulkan berbagai keributan. Padahal, fikih Islam sudah menatanya secara apik supaya utang piutang tidak menimbulkan kekisruhan.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah Jilid 5 (2009: 234) menerangkan:

Qardh merupakan salah satu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebab, dengan memberikan uang (atau barang yang lain) berarti menyayangi manusia, mengasihi mereka, memudahkan urusan mereka dan menghilangkan kesusahannya.

Islam menganjurkan dan menyarankannya bagi orang yang (berkecukupan) untuk memberi pinjaman. Islam juga membolehkan (orang yang kesusahan) menerima utangan dari orang yang menghutanginya dan dia tidak termasuk orang yang meminta-minta yang dimakruhkan.

Sebab, orang yang meminjam atau berhutang mengambil harta atau barang dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah itu, dia mengembalikan harta atau barang yang dipinjamnya.

Qardh merupakan istilah dalam fikih Islam untuk menerangkan kaidah-kaidah utang piutang, yang diperbolehkan dalam agama dengan tujuan kemaslahatan. Nah, ketika terjadi hal-hal buruk terkait utang piutang, berarti ada yang salah dalam pengamalan tuntunan fikih tersebut.

Sanawiah & Ariyadi dalam buku Fiqih Muamalah (2021: 12-13) mengungkapkan:

Para ulama sendiri sepakat dan tidak ada pertentangan mengenai kebolehan utang piutang, kesepakatan ulama ini didasari pada tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya.

Hukum dari pemberian utang yang awalnya hanya diperbolehkan, bisa menjadi suatu hal yang diwajibkan jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan, seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.

Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk maksiat atau perbuatan makruh, misalnya untuk membeli narkoba atau yang lainnya.

Sampai kapanpun utang tetaplah utang. Dan yang jadi persoalan pelik bukan pada proses meminjamnya, melainkan bagaimana cara melunasi utang tersebut. Masalahnya tidak melulu disebabkan belum adanya uang, melainkan memang tidak adanya niat baik hendak melunasi utang.

Ahmad Wardi Muslich pada buku Fiqh Muamalat (2022: 284-285) menerangkan:

Apabila seseorang mempunyai utang dan ia sudah mampu untuk membayarnya, maka hendaknya utang tersebut segera dilunasi, dan jangan ditunda-tunda. Apabila ia sudah mampu, tetapi ia menunda-nunda pembayaran utangnya, maka ia termasuk orang yang zalim.

Hal ini sesuai dengan hadis berikut ini.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Penundaan (pembayaran utang) oleh orang yang kaya (mampu) merupakan penganiayaan, dan apabila salah seorang di antara kamu (utangnya) dialihkan kepada orang yang kaya (mampu), maka hendaklah ia menerimanya.” (HR. Abu Dawud)




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih